AKAN sangat lucu kalau pertalian sejarah di atas disebut tidak berkait dengan sosial budaya, malah karena melewati waktu yang begitu lama, segala sesuatunya bisa berbaur antara sejarah dengan mitos. Paling tidak akan ada asahan kesamaan rasa yang menyebabkan mengapa hanya dua provinsi ini menyatakan secara terang-terangan bahwa mereka Melayu, meskipun sebenarnya julukan itu juga bisa ditujukan kepada sejumlah provinsi atau tempat lain. Provinsi Riau, bahkan menetapkan visi dan misinya sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara sebagaimana tertera dalam Peraturan Daerah Riau No.36 tahun 2001.
Mengaku sebagai Melayu merupakan tiang utama seseorang atau kelompok orang bersama primordialisme dan kedekatan, jadi bukan tergantung pada darah keturunan (Antar Venus, 2015). Disebut Melayu, adalah karena dengan sengaja melayukan diri, bukan karena panas, bukan pula karena api (Panuti Sudjiman, 1983). Dasar pengakuan dan sifat Melayu itu dibalut pula dengan tiga ciri-ciri orang Melayu yakni beragama Islam, beradat Melayu, dan berbahasa Melayu. Bahasa Melayu Riau terbagi atas beberapa dialek antara lain kepulauan, pesisir, Kampar, Kuantan, Petalangan, dan Rokan (UU Hamidy, 2012).
