“Lai rencana ziarah kubuo subolum Ramadhan ko, Mamak? Subonanyo borek nak munyobuiknyo… topi untuk awak busamu, bialah kumoti-moti; dalam kuadaan kinin ko, usahlah Mamak pulang dolu le. Sodih kaminyo, Mamak. Cumu, sojak musim wabah ko, kami anak-kumunakan Mamak di kampong ko, ino pakai tiduo do, mungawal kampong awak ko mak totop bosih.” – Ada rencana berziarah kubur sebelum Ramadhan ini, Mamak? Sebenarnya berat hendak menyebutkannya… tapi untuk (kebaikan) kita bersama, biarlah kukuatkan hati; dalam keadaan kini ini, usahlah Mamak pulang dulu lagi. Sedih kami sebenarnya, Mamak. Cuma, sejak musim wabah ini, kami, anak-kemenakan Mamak di kampung ini, tidak tidur-tidur, mengawal kampung kita ini agar tetap bersih (dari wabah).”
Pesan Whatsapp itu saya terima jelang subuh (Sabtu, 11/4/2020); dari salah seorang kemenakan saya di sebuah kampung di Tambusai, Rokan Hulu. Sebagai kemenakan (ibunya sepupu saya), dia tahu betul bahwa dalam keadaan normal, pesan kemenakan (juga: seorang anak) kepada Mamaknya yang seperti itu adalah penyimpangan dari alur-patut adat. Alur-patut adat bilateral yang dianut lima suku Sibah Dalam (kerabat istana; kelompok lainnya: Sibah Luar yang menganut kekerabatan garis ibu atau matrilineal) di bekas Kerajaan Tambusai tegas mengatur bahwa anak dan kemenakan dengan Bapak dan Mamaknya berada dalam relasi-relasi perlindungan timbal-balik (resiprokal) yang nyaris tak bisa dibedakan. Bapak memberi perlindungan prospektif, dalam bentuk bekal-bekal (tunjuk-ajar) untuk kebaikan hidup anak (-anaknya) di masa depan; dan kewajiban adat yang sama melekat pada dirinya untuk kemenakannya (anak-anak dari saudara-saudara perempuannya). Sedangkan anak dan kemenakan sama-sama menjadi ‘pelapis-dada’ Bapak atau Mamaknya; aib Bapak atau Mamak adalah aib anak atau kemenakan, dan atas nama kewajiban, anak maupun kemenakan sama-sama (harus) siap mempertaruhkan nyawa untuk menutup aib Bapak atau Mamaknya itu. Perbedaan antara anak dengan kemenakan, dalam adat Sibah Dalam, baru terlihat dalam hal hak: warisan material, misalnya.
Jelang azan subuh Sabtu, sebagai Mamak saya menerima pesan yang sungguh menyimpang dari alur-patut adat kami: bunyinya mendekati pengertian ‘kurang-ajar’. Akan tetapi, simaklah: nada berat hatinya menyampaikan pesan itu (moti-moti adalah ekspresi masyarakat adat Lima Luhak di Rokan untuk hal yang sangat-sangat enggan dia lakukan); pernyataan kesedihan hatinya (saya percaya pada bayangan yang melintas di benak saya, bahwa dia – kemenakan saya itu – bercucur air mata ketika menulis pesan itu); dan sebagainya yang hampir seluruhnya bersuasana amat sendu. Dia tahu betapa saya selalu ingin pulang, menziarahi kubur Omak dan Abah dan kaum kerabat yang sudah wafat, menziarahi saudara-mara serta kampung halaman dan sekalian isinya, lebih-lebih menjelang Ramadhan bulan penuh berkah atau awal Syawal yang fitri. Jelang Ramadhan, waktu bermaaf-maafan dengan wajah basah oleh air mata yang – dalam warisan tafsir kampung saya – akan hanyut bersama wangi air limau bekas pembasuh ubun-ubun di petang belimau. Awal Syawal, hari-hari ketika air mata mengantarkan suara syahdu takbir memuji Sang Maha Pencipta, penuh harap beroleh kemenangan…
Usah pulang dulu, kata kemenakan saya (mungkin juga: kata akal semua kita). Ya, kata akal: wabah mengancam kita. Kata akal: wabah itu akan berhenti bila kita disiplin berjarak dzahir (physical distancing), dan disiplin pula meningkatkan kebersihan dan ketahanan diri. Kata akal: wabah laknat itu masih terus menyebar melalui mobilitas orang-orang. Sekarang, saat catatan ini ditulis, sebagian besar kampung kita di pelosok sana, Alhamdulillah, masih bersih; karena doa kita semua, karena ikhtiar anak-kemenakan dan saudara-mara kita di sana. Kita sepakat, semua kampong awak tetap bersih. Sungguh masuk akal, menyentuh hati, dan membanggakan: anak-kemenakan kita mengambil prakarsa, melakukan penyimpangan adat, melarang kita pulang. Sementara #BerjarakZahirBersatuBatin. Itulah kata akalbudinya.