Di sisi lain, diikat oleh tali sejarah peradaban yang panjang dan diakui oleh bangsa sendiri dan asing, frasa bahasa Indonesia berasal dari Riau itu hampir menjadi mitos. Sebagai mitos, orang tidak lagi mengedepankan pikiran, tetapi bercampur dengan perasaan. Maka pengakuan Riau sebagai cikal bakal bahasa tersebut seolah-olah sebagai harga mati, tidak ada tawaran lain. Segala alasan untuk meragukannya, dengan sendirinya tertolak.
Meskipun demikian, tidak perlu berjiwa kerdil sebagaimana ungkapan pejabat di Pusat Bahasa sendiri, Abdul Rozak Zaidan yang menyebut kemasygulan saya terhadap perkembangan bahasa Indonesia dalam konteks bahasa Melayu Riau sebagai bibit disintegrasi bangsa (Sawomanila, tanpa tarikh). Juga tidak semudah pernyataan Maryanto, yang melabelkan dirinya sebagai pemerhati politik bahasa bahwa terjadi kontra-identitas karena pelengketan Melayu dalam bahasa Indonesia (Tempo.co dan Koran Tempo, 22-23/8/2014).
Sungguh, Melayu Riau masih punya akal sehat untuk bangsa ini.