Maman S. Mahayana menulis (Insania, 2009), pada tahun 1891, A. A. Fokker menganjurkan pemakaian bahasa Melayu-Riau yang dikatakannya: “… bukan saja sebagai alat peradaban, tetapi juga sebagai bahasa pemersatu pemerintahan di seluruh kepulauan ini…. Akan datang suatu masa, di mana kita dapat memberi sumbangannya, yaitu bahwa setiap orang pribumi yang telah menamatkan sekolah dasar, akan merasa malu kalau dia tidak mampu berbahasa Melayu-Riau ….” Kalangan zending dan para pendeta, di antaranya A. Hueting dan Van der Roest, juga cenderung memilih bahasa Melayu-Riau karena dianggap sebagai bahasa Melayu yang baik: “… agar lambat laun bahasa Melayu yang baik, yaitu bahasa Melayu-Riau diajarkan di sekolah-sekolah … sebagai bahasa yang memungkinkan berbagai suku bangsa hidup rukun sebagai saudara dan berunding tanpa cemburu dan iri hati, dan juga dapat menjadi penghubung bagi orang-orang Kristen lainnya di kepulauan ini.”
