Tak heran kalau kemudian Ophuijsen amat terkesan dengan penelitian bahasanya tersebut. Oleh sebab itu, dalam buku tata bahasanya yang terbit tahun 1910, Maleische Spraakunst, tidak ragu-ragu ia mengatakan, “Di antara logat, mereka yang diutamakan adalah orang Melayu dan mereka tentu saja satu-satunya penilai yang berwenang, adalah logat yang dituturkan di Kepulauan Riau-Lingga, khususnya pulau Penyengat dan di Daik di pulau Lingga.” (ibid). Suatu pegakuan yang menjadi tiang utama dari pernyataan Ki Hajar Dewantara dan Kees Groeneboer, sekaligus mempertebal jejak bahasa Indonesia dari Riau.
Tak hanya dekat dengan pusat perkembangan Asia Tenggara waktu itu, yakni Singapura yang pernah berada dalam pemerintahan Riau-Johor, generasi setelah Raja Ali Haji juga merebut peluang kosmopolitan baru itu dengan berbagai usaha termasuk di bidang penerbitan. Penerbit dan percetakan Mathabaat al-Ahmadiah di Singapura, dibidani dari Riau — seiringan dengan perkembangan perusahaan pribumi pertama di nusantara yang justeru diluncurkan dari Midai, Pulau Tujuh, dinamai Asyarkatul Ahmadiah, berdiri tahun 1905. Suatu usaha dirintis di Penyengat, misalnya melalui apa yang dinamai oleh kerajaan terhadap pecetakan mereka, Mathbaat al-Riauwiyah. Terlihat kemudian bahwa buku-buku Raja Ali Haji dan generasi setelahnya terbit di sini selain diterbitkan pula di Batavia (UU Hamidy, loc.cit). Sesuatu yang juga diamati oleh Ophuijsen. (Hasan Junus, op.cit).