Kolum: Taufik Ikram Jamil
ENTAH mengapa, saya merasa perlu memberi tahu kepada kawan saya Abdul Wahab bahwa Riau masih mengusung budaya Melayu dalam 25 tahun ke depan, 2025-2045. Tekad menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara sekaligus payung negeri, masih menjadi keinginan sebagaimana tertuang dalam visi Riau 2005-2025.
“Demikian yang dapat saya tangkap dari Forum Konsultasi Publik Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025 – 2045 dan Rencana Rancangan Pembangunan Daerah 2026 – 2026, Rabu (27/12),” tulis saya kepada kawan yang bermastautin di kawasan Selat Melaka itu.
Saya sebutkan pula bahwa yang memaparkan RPJPD tersebut, langsung Gubernur Riau Brigjen TNI (Purn) H. Edy Afrizal Natar Nasution, S.I.P. Selain itu adalah Asisten II Setda Riau M.Job Kurniawan. Sedangkan moderator dalam diskusi adalah Asisten I, Masrul Kasmy.
Syahdan, dalam pemaparan dengan berbagai capaian, sosok kebudayaan masih kurang terbaca. Tidak seperti elemen-elenen ekonomi semacam pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, bahkan infrastruktur, wajah kebudayaan Melayu seperti tersembunyi meskipun didudukkan setara dengan ekonomi dalam visi Riau.
Begitu pun dalam Rencana Rancangan Pembangunan 2025-2026, kebudayaan Melayu tidak lari dari ekspresi dan warisan–itu pun belum terbaca arah detilnya. Padahal, kebudayaan jauh lebih luas dari hal itu, berkaitan langsung dengan alur kehidupan kini, di sini, dan masa depan. Dalam lingkup sederhananya, kebudayaan antara lain bersumbu pada sistem ekonomi, sosial, politik, komunikasi, seni, kebiasaan berpola, adat, bahkan sistem kepercayaan.
Kekaburan kebudayaan dalam kegiatan ini, lanjut saya kepada Wahab, terasa kontras karena gelora pembangunan kebudayaan di Riau sangat menonjol di mata nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Riau, berada pada posisi nomor empat setelah Yogyakarta, Bali dan Jawa Tengah. Ini juga berarti, pembangunan kebudayaan Riau terbaik di luar Jawa dan Bali.
Gambaran itu dapat disadari karena daerah di atas Riau dalam pembangunan kebudayaan, memiliki infrastruktur budaya yang lengkap dan telah lama. Yogyakarta dilumuri perguruan tinggi termasuk pendidikan seni, dengan status istimewanya, menyebabkan perhatian budaya sangat luar biasa. Bali muncul dengan keunikannya tersendiri yang tidak saja di mata nasional, tetapi global. Jawa Tengah ditopong dengan keberadaan Borobudur dan Prambanan yang bersebelahan dengan Yogyakarta.
Patutlah pula dicatat, dalam kondisi demikian, nilai IPK Riau di atas rata-rata nasional sejak lima tahun terakhir. Tahun 2021 misalnya, IPK Nasional 51.90 , sedangkan Riau adalah 54.20. Pada tahun 2022, IPK Nasional 55.13, sedangkan IPK Riau 58.52. IPK Riau mengatasi Kalsel, Kalteng, Bengkulu,. Jatim, Sumbar, dan NTB.
Prestasi gemilang tanpa harus menepuk dada, diakuinya pantun sebagai budaya takbenda dunia tahun 2020, disusul diakuinya bahasa Indonesia/ Melayu sebagai bahasa resmi UNESCO tahun 2024. Riau merupakan basis perjuangan kedua ekspresi itu melalui suatu proses yang tidak mudah. Daerah ini pulalah satu-satunya daerah yang memiliki kurikulum muatan lokal merdeka yang menjadi contoh nasional.
Tentu, kesemuanya itu, tidak menyebabkan Riau bersenang hati. Sebab, masih banyak sisi kebudayaan yang harus diselesaikan secara komprehensif. Secara kasat mata, hak-hak masyarakat adat masih terlantar, dibuktikan dengan terampasnya hak hutan tanah ulayat oleh koorporasi dengan berbagai dalih. Sumber nilai kemanusiaan dalam budaya, seperti tak terdaya melawan kapitalisme, sehingga upacara manumbai pun misalnya, menjadi amat mahal seiringan pemanfaatan kayu-kayan tanpa pandang fungsi.
Belum lagi, soal pewarisan yang menjadi kegiatan wajib dalam kebudayaan Melayu. Telah bertahun-tahun diperjuangkan, pelajaran Budaya Melayu Riau (BMR) tetap tidak masuk dalam Data Pendidikan (Dapodik) hanya karena persoalan birokrasi, sehingga guru-guru mengajar BMR tanpa imbalan. Bandingkan dengan Yogyakarta, Bali, dan Jateng, yang sudah menyelesaikan persoalan ini 30 tahun lalu.
Sebaliknya, perhatian besar prmbangunan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Setidak-tidsknya, hal ini tertuang dalam Undang-undang Provinsi Riau tahun 2022 (penyempurnaan dari UU 1957) yang menetapkan adat dan budaya Melayu, sebagai satu dari tiga karakteristik daerah ini. Belum lagi kecenderungan dunia menjadikan budaya sebagai landasan kuat pembangunan seperti Jepang, Korsel, Perancis, Jerman bahkan Amerika Serikat. Tentu kita menyadari, bagaimana produk budaya mereka “menyerbu” kita selama ini dalam berbagai bentuk.
“Malas nak cakap, bagaimana kebudayaan di Riau tanpa dukungan lembaga khusus kebudayaan seperti terlihat di daerah lain. Di Sumbar saja, selain ada sekolah menengah seni, juga ada Insitut Seni Indonesia yang sudah bercokol puluhan tahun, ” tulis saya kepada Wahab, seraya mencontohkan, di Riau lembaga seperti itu bahkan tutup karena hanya disandarkan kepada aktivis budaya/ swasta. Malahan, Dinas Kebudayaan yang menjadi rujukan dari berbagai daerah termasuk Jakarta, tidak sepi dari upaya menggabungkannya dengan dinas lain, duh…
Kita sadar, pembangunan kebudayaan memang rumit karena “wilayah kerjanya” amat beragam dan saling berkelindan. Secara nasional pun, hal ini tidak mudah, apalagi berkaitan dengan kepentingan pragmatis, sehingga kepelikan pembangunan kebudayaan adalah kerumitan nasional. UU masyarakat hukum adat yang memungkinkan masyarakat dipandang dari berbagai dimensin misalnya, belasan tahun terdampar di legislatif. UU pemajuan kebudayaan, masih berkutat pada ekspresi, bukan menjadi wadah dialog dan dinamika peradaban.
Selanjutnya, menarik apa yang dikatakan Gubernur Edy Natar bahwa forum konsultasi publik, justru ingin menampung pemikiran pembabangunan Riau, tentu termasuk kebudayaan. Tulisan ini hanya secalet catatan tentang kekuatan dan kelemahan, sehingga langkah ke depan dapat diambil lebih konkrit. Catatan dari naskah Pemajuan Kebudayaan Melayu yang dibuat beberapa tahun lalu secara mandiri yang disusun sejumlah budayawaan dengan Dinas Kebudayaan, mungkin masih bisa diketengahkan.
Di sisi lain, catatan ini sekaligus sebagai tabik kepada penggiat kebudayaan di Riau yang senantiasa bergelora berbuat dan berbuat. Salam.