Beberapa kelengkapan baru untuk upacara sekarang dibawa ke depan khalayak. Hal pertama yang menarik perhatian adalah buaian berbalut kuning – dondang – yang digantung dengan lonceng emas. Ada pula enam belas tepak sirih, yang diatur pada jarak tertentu di depan singgasana.
Sementara orang-orang di luar riuh-rendah bertandak dan bernyanyi diiringi rebana dan gendang, sebuah upacara penting sedang berlangsung di bangsal. Asap kemenyan membubung di hadapan Jinjang Raja, usapan minyak wangi terjadi lagi, begitu pula taburan beras kuning, dan Sang Dukun pun mulai “serap”, kerasukan. Berkali-kali dia kehilangan kesadaran; dia bernyanyi, terkadang berteriak dan berguling-guling di lantai. Lalu Bidu segera mendekat dan menenangkannya. Dia meniupkan udara segar ke perempuan yang serap itu dan membujuknya sambil bernyanyi. Para Batin juga tampaknya tersulut oleh keadaan itu dan ikut-ikutan kerasukan; mereka meraung, berguling-guling di tanah, memukul-mukulkan tangan dan menghentak-hentakkan kaki.16