
Meskipun bersumber dari kebudayaan ‘lain’, teks-teks itu tetap tampil dalam nuansa Melayu yang kental, yang menyiratkan kesadaran dan kepakaran pengarang tentang pekerjaannya: mengurai dan menenun kembali makna-makna yang ada dan yang diadakan (perbaruan makna). Penggunaan aneka sumber itu menegaskan pula kesadaran pada hakikat keterbukaan Melayu. Alih-alih mengelak, para pengarang Melayu masa lampau justru merenangi ‘kelainan-kelainan’ dalam hubungan dialogis dan mengajak khalayaknya menikmati pengembaraan tersebut.