Oleh karena itu, saya hanya akan mengemukakan buah renungan dan pokok-pokok pemikiran tentang “sastra Melayu” dalam bentang ruang “Melayu Riau” sahaja. Istilah “Melayu Riau” yang digunakan di sini bukanlah dalam pengertian geo-politik dan administrasi pemerintahan, tetapi suatu entitas budaya yang dipersatukan antara lain oleh kebanggaan, kepedihan, dan sikap kesejarahan yang sama dari zaman ke zaman, di samping jalinan kekerabatan dan inter-penetrasi budaya yang sudah berlangsung sejak lama.
Kata “Riau” pada mulanya merujuk pada Sungai Carang di Pulau Bintan yang kawasannya pada abad ke-18 menjadi pusat kerajaan Johor, sehingga kemudian nama kerajaan itu dikenal juga dengan sebutan “Johor-Riau”. (Untuk penamaan Riau, lihat Viviene Wee, Melayu: The Hierarchies of Being in Riau, 1985). Pada tahun 1824, kolonial Inggris dan Belanda menandatangani Traktat London yang membelah dua wilayah luas kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga: Johor dan Pahang di bawah jajahan Inggris, dan Riau-Lingga di bawah jajahan Belanda. Sejak itu “Riau-Lingga” menjadi sebutan untuk lembaga politik kerajaan Melayu di Selat Melaka dan Laut Cina Selatan, sampai kerajaan ini dibubarkan Belanda pada tahun 1911. Di masa kemerdekaan, sejak tahun 1957, kata “Riau” menjadi nama provinsi, dengan wilayah mencakup bekas wilayah Kerajaan Riau-Lingga, Kerajaan Siak, dan beberapa kerajaan kecil di Sumatera timur. Pada tahun 2002, pemerintah Republik Indonesia memekarkan provinsi ini menjadi dua: Provinsi Riau (dengan wilayah intinya bekas Kerajaan Siak dan beberapa kerajaan di Sumatera timur), dan Provinsi Kepulauan Riau (dengan wilayah inti bekas Kerajaan Riau-Lingga). Kata “Riau” yang digunakan sebagai nama “Provinsi Riau” telah memutuskan hubungannya dengan asal-muasalnya. Pada latar inilah istilah “Sastra Melayu Riau” yang saya pakai memijakkan kedua kakinya di Riau daratan dan kepulauan yang kini telah menjadi dua provinsi ini.