Puisi-puisi SCB dalam antologi O Amuk Kapak (1981), misalnya, bukan hanya mendeformasi bahasa (hubungan tanda dan makna), tetapi juga menantang kenyataan-kenyataan dalam konvensi puisi Indonesia, seraya menyegarkan dan memberi makna baru pada kenyataan-kenyataan bahasa mantra dalam kebudayaan Melayu. Di dalam taman bahasa yang amat menggoda yang tersaji melalui novel pendek Hasan Junus, Burung Tiung Seri Gading (2006), kenyataan-kenyataan tekstual cerita Laksemana Bintan ditafsir ulang, dan mendapat makna baru: manusia dalam cengkeraman nasib. Novel Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999), puisi-puisi Husnizar Hood (misalnya “Dongeng Pasir”), serta puisi-puisi dan naratif-naratif Marhalim Zaini [termasuk libretto-nya untuk opera Melayu yang berjudul Tun Teja (2007)], tampil mengkritisi sejarah, realitas, dan teks-teks masa lalu, seraya meniupkan nafas dan menyegarkan makna sejarah, realitas, dan teks-teks masa lalu tersebut.
Tags al azhar Datuk Seri Al Azhar
Lihat Juga
Catatan Al azhar: Kedaulatan Adat di Negeri ‘Padang Perburuan’
Bagikan Catatan ini disampaikan sebagai pengantar dalam pembukaan acara “Dialog Virtual Kedaulatan Adat Melayu di ...