Beranda / Telaah / Catatan Al azhar: Penemuan Kembali Kepulauan Sastra Melayu
al azhar

Catatan Al azhar: Penemuan Kembali Kepulauan Sastra Melayu

Bagikan

Penerapan konstruksi kewacanaan seperti itu dapat disaksikan dalam pensejarahan resmi sastra Indonesia, dan didesakkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Pensejarahan resmi sastra Indonesia dimulai dari Balai Pustaka, lembaga milik Hindia-Belanda yang sebelumnya bernama Comissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat). Kebanyakan terbitannya dalam huruf Latin, dan jelas dtujukan untuk khalayak beraksara Latin, produk sekolah-sekolah kolonial atau yang disokong oleh pemerintah kolonial. Sebagai lembaga bentukan Hindia-Belanda, ia memainkan peran agen literasi Barat, menggeser keberaksaraan Arab-Melayu (juga keberaksaraan Jawa, Bugis, Batak, dll.), dan menyebarkan gagasan dan etika individualisme dalam kecendekiawanan “Indonesia” semasa. Kepengarangan Balai Pustaka, konon, adalah kepengarangan individu dalam pengertian-pengertian modern, menjelajahi hidup manusia sebagai individu di dalam komunitasnya. Demi itu, mereka membaca karya-karya asing (terutama yang berbahasa Belanda), dan tak jarang hanya menjadi peniru (lihat tulisan Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya Sastra Hindia-Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1983). Pada kecenderungan peminggiran literasi dan kebudayaan suku-suku inilah kita melihat konvergensi nasionalisme Indonesia dan kolonialisme; dua paham yang secara teoritis-konseptual bertentangan. Konvergensi itu memberi celah bagi kita untuk menduga: di dalam ‘nadi nasionalisme Indonesia’ mengalir ‘darah pembaratan’.

Lihat Juga

Catatan Al azhar: Kedaulatan Adat di Negeri ‘Padang Perburuan’

Bagikan  Catatan ini disampaikan sebagai pengantar dalam pembukaan acara “Dialog Virtual Kedaulatan Adat Melayu di ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!