Dalam keterpinggirannya, Riau dan ke-Melayu-annya baru ditoleh setelah Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menerbitkan dan membacakan sajak-sajaknya di Jakarta dan menyatakan puisi-puisinya diilhami oleh seni bahasa mantra Melayu. Pernyataan dan kejayaan SCB ini memantik kepercayaan diri baru para penulis Riau, sekaligus membuka ruang rekonstruktif persebatian cendekiawan Riau dengan ke-Melayu-an mereka. Ke-Melayu-an dalam penciptaan sastra yang digemakan SCB disambut oleh Ibrahim Sattah (Alm.) dengan puisi-puisi yang mengeksplorasi bahasa dalam permainan kanak-kanak Melayu, dan membacakannya di TIM (lihat Hasan Junus, “Ibrahim Sattah: mencari dan menemukan tempat”, 1984). Sejumlah seniman dari ‘kelompok tennisbaan’ (yaitu para pemangku kegiatan sastra dan seni yang sering berkumpul dan mementaskan seninya di lapangan tenis di pojok jalan di belakang Gedung Daerah Tanjungpinang) dan fellow travellers-nya (seperti Alm. Idrus Tintin, Alm. BM. Syamsuddin, Iskandar Leo, dll) merevitalisasi ke-Melayu-an mereka, memindahkan tempatnya dari ‘lembaga kenangan’ yang pasif-nostalgis ke ‘lembaga ingatan’ yang aktif-dinamis, dan menuangkannya dalam karya-karya.
Tags al azhar Datuk Seri Al Azhar
Lihat Juga
Catatan Al azhar: Kedaulatan Adat di Negeri ‘Padang Perburuan’
Bagikan Catatan ini disampaikan sebagai pengantar dalam pembukaan acara “Dialog Virtual Kedaulatan Adat Melayu di ...