Watak keilmuan dan kepeloporan yang menyatu dengan kepengarangan Raja Ali Haji terlihat pula dalam karya-karyanya di bidang sejarah. Tuhfat al-Nafîs [Hadiah Berharga (1866)], bersama Silsilah Melayu dan Bugis (1865) dianggap sebagai teks yang jolong menerapkan pendekatan kritis terhadap sumber (sebagai ciri utama penulisan sejarah modern) di alam Melayu. Sepasang buku ini merupakan pintu utama pengetahuan dan pemahaman sejarah di Nusantara, terutama di Selat Melaka, serta jejaring politik, sosial, ekonomi, dan budayanya pasca keruntuhan Kerajaan Melaka tahun 1511. Ketika kedua buku itu ditulis, alam Melayu yang luas sudah terbelah-bagi ke dalam dua kuasa kolonial (melalui Traktat London 1824): Inggris di Semenanjung dan Singapura, serta Belanda di selatannya. Kejayaan politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan Melayu malap, dan di dalam Tuhfat al-Nafîs, proses peralihan itu menjadi tali arus yang mengalir deras di bawah paras gelombang kisahan tempat-tempat jauh dan dekat serta orang-orang dan masyarakat yang menggerakkannya. Di dalam Tuhfat al-Nafîs itu pula, dalam rentang waktu sekitar empat puluh tahun sejak perempat pertama abad ke-19, sang real author, yaitu Raja Ali Haji itu sendiri, tampil dalam gerak-geliat tokoh yang memang harus dikisahkan karena penglibatannya yang langsung pada peristiwa-peristiwa kesejarahan itu.

Makam Raja Ali Haji di Penyengat (Foto: Raja Malik Hafrizal)
3 Komentar
Pingback: Catatan Al azhar: Gurindam Dua Belas & Persembahannya - LAM Riau
Pingback: Salinan Naskah Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji - LAM Riau
Pingback: Alih Aksara Gurindam Dua Belas - LAM Riau