Sejak abad ke-16 orang Melayu sudah masuk ke dalam lingkup kehidupan orang Bugis-Makassar, tidak hanya dalam birokrasi kerajaan tapi juga dalam tatanan kehidupan kelas yang amat terhormat strata tubaji (orang baik-baik; orang terhormat). Mereka menduduki berbagai jabatan dalam birokrasi kerajaan sebagai Syahbandar, Jurutulis, Ulama, Pejabat Keagamaan (Kadhi), maupun dalam bidang ketentaraan. Dengan status amat terhormat yang dimilikinya, maka orang-orang Melayu di Negeri Bugis-Makassar dibolehkan secara adat menikah dengan wanita bangsawan Bugis. Demikian juga sebaliknya dengan format kesetaraan, sehingga sangat banyak raja-raja dan bangsawan Bugis-Makassar berdarah Melayu; misalnya:
- I Pappe DaEng Masiki, Karaeng Pangkajenne (1857).
- I Wewang DaEng Pasampa Karaeng Lau (1855).
- Pallawa Rukka DaEng Malawa Karaeng Mandalle (1861).
- Ratna Kencana, Colliq PujiE Datu Tanete Arung Pacana (1835).