Pertempuran yang diharapkan pembaca epik tidak terjadi. Ikrar berakhir hanya sebagai ucapan. Sebagai roman, rindu Pangeran Terubuk pun tak terpuaskan. Lalu ia melirik Ikan Kelesa, bukan sebagai pengganti tetapi hanya untuk menegaskan hasratnya yang tidak dapat melupakan sang kekasih, Puteri Puyu-puyu. Pembaca dibawa kembali ke situasi awal: Pangeran yang menanggung gundah-gulana, dan hanya dapat bercengkerama dengan semua ikan. Alhasil, secara generik Syair Ikan Terubuk dapat dianggap sebagai sebuah kisahan yang mempermainkan genre epik dan roman.
Kedua, kesejarahan dan realitas. Secara intertekstual, Syair Ikan Terubuk – sebagaimana dikatakan Klinkert (1868) – menggemakan peristiwa-peristiwa kesejarahan dan realitas tertentu. Koster memulainya dengan identifikasi terhadap latar tempat yang disebutkan dalam syair tersebut: Selat Melaka (tempat bersemayam Pangeran Terubuk), sekitar Tanjungpadang (tempat Puteri Puyu-puyu hidup), Tanjungtuan (kediaman lain Pangeran Terubuk), Selong atau Sailan/ Sri Langka (yang dikatakan Pangeran Terubuk sebagai tempatnya mengasingkan diri bila gagal mendapatkan Puteri Puyu-puyu), Bukitbatu, Bukitpengarah, laut/ selat Mengkalis/ Bengkalis Siak, Tanjungtuan, Tanjungbalai (tempat asal pohon yang digunakan Puteri Puyu-puyu untuk melarikan diri), dan Telukpedada.