Namun setelah agama Islam merasuki kebudayaan Melayu, tafsir-tafsir empirik itu menggapai otentisitasnya sebagai nilai yang dianggap kekal, apabila tafsir-tafsir tersebut bersesuaian dengan pesan dan nilai dari kitab-kitab otoritatif (Al-Quran, Hadits, kitab-kitab para ulama dan aulia). Sedangkan pembacaan terhadap kitab-kitab otoritatif mengalami proses penegasan dengan realitas, melahirkan tafsir-tafsir berupa butir-butir nilai yang mutlak, dalam arti: bila realitas tidak bersesuaian dengannya, maka realitas itu harus diubah.
Dengan sumber dan proses transformasi yang seperti itu, wajarlah bila ‘tunjuk ajar’ menempati kedudukan yang sangat penting, yaitu menjadi rujukan atau patokan utama kesadaran, moralitas, dan pembentukan jatidiri dalam kehidupan masyarakat Melayu tradisional. Fungsinya luas, yang secara metaforik, antara lain, disebutkan sebagai ‘pegangan’, ‘azimat’, ‘pakaian’, ‘rumah’, ‘tulang’, ‘jagaan’, ‘amalan’ dan ‘timang-timangan’ bagi diri. Diri yang mengabaikannya dianggap tidak akan menjadi ‘orang’, tidak ‘selamat’, tidak ‘terpuji’, tidak ‘bertuah’, tidak ‘terpandang’, tidak ‘sentosa’, tidak ‘terpilih’, tidak ‘diberkahi’, tidak ‘disayangi’, dan lain sebagainya. (Lihat: hal. 22-24).
- Penyebaran dan pewarisan
Penyebaran dan pewarisan ‘tunjuk ajar’ secara tradisional menggunakan dua cara: lisan-verbal dan suri-teladan (hal. 25), baik di ruang personal maupun komunal, domestik maupun publik.