Ini ditegaskan oleh sejumlah praktik yang diduga berpaksi pada ‘nilai-nilai baru’, yang bagi komunitas-komunitas Melayu tradisional dialami sebagai kemudaratan. Misalnya, praktik kapitalisme yang dielu-elukan negara atas hutan-tanah, bagi komunitas Melayu dialami sebagai perlucutan atas hak-hak komunal mereka, dan bersama kehancuran lingkungan fisik itu lenyap pula sumber-sumber tafsir empiris yang menjamin kesinambungan dan dinamika pewarisan nilai dan budaya.
Di tengah goncangan tersebut, anak-anak dan belia-belia Melayu dipaksa berdepan dengan dua pilihan yang sama-sama menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur budaya mereka. Yang pertama, pilihan memasuki ruang yang berubah tanpa kesadaran diri, seperti seorang ‘jalu (somnambulist)’, untuk kemudian terdampar di pantai nafsu-nafsi materialisme, dan di tempatnya sekarang sebagian menjadi konsumen dan aktor nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya Melayu itu sendiri; katakanlah misalnya mentalitas destruktif seperti korupsi, kolusi, manipulasi, dan lain-lain. Yang kedua, memilih untuk bertahan, tapi rempuhan praktik-praktik kapitalisme itu mendesak mereka ke tepi. Dari posisi yang semakin marginal itu, sebagian mencoba memasuki media transmisi baru yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan komunikasi yang nampaknya merayakan kelisanan. Namun peluang untuk itu sangat kecil, karena media-media baru tersebut juga bagian dari kekuasaan kapitalisme yang sama, yang memandang apapun sebagai komoditas dengan nilai yang ditentukan oleh pasar.