Yang tetap menjadi pertanyaan adalah: apakah perjuangan lima Pahlawan Nasional dari Riau dan Kepulauan Riau itu (Tuanku Tambusai, Raja Haji Fisabilillah, Sultan Syarif Kasim II, Raja Ali Haji, dan Sultan Mahmud Riayat Syah) sudah dipelajari secara nasional? Apakah mereka sudah disimak seperti kita di sini harus menyimak Pangeran Diponegoro, dll.?
Akhirnya, di kancah globalisasi dan kelimpahruahan teks-teks dari media sosial ini, cukup banyak orang di Indonesia yang merasa kesadaran nasionalisme bangsa ini sedang terancam. Bisakah kita keluar dari ancaman itu? Tentu; namun paradigma, pendekatan, dan caranya harus diubah. Nasionalisme yang selama ini lebih dirasakan sebagai belenggu kewajiban-kewajiban bagi ‘orang daerah’ perlu diramahkan, menjadi keperluan-keperluan kita akan identitas di tengah-tengah globalisme yang salah cerna: yaitu mempersatukan. Nasionalisme perlu dirumuskan kembali, dengan mengakomodir secara seimbang sifat-sifat lokalitas kontinental dan regionalitas pesisir serta kepulauan. Di dalam kalimat ini termaktub pesan kritis: Indonesia yang istilahnya pertama kali dikenal tahun 1850 (melalui dua artikel yang ditulis oleh G. W. Earl dan J. R. Logan di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia), hanya mungkin survive lewat dua cara: senjata atau akal budi; dengan senjata, berarti kita mendesakkan kembali politik pemerintahan tiranik; dengan akal budi, berarti kita menganjungkan batas-batas kebudayaan (cultural boundaries) sebagai bagian dari identitas keragaman kita di atas batas-batas politik (political boundaries).