Beranda / Telaah / Catatan Al azhar: Sejarah atawa Dongeng?

Catatan Al azhar: Sejarah atawa Dongeng?

Bagikan

Sebuah contoh, pengembaraan Upu-upu yang Lima (Daeng Parani, Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Kamboja, dan Daeng Menambun) dari Bugis ke Laut Cina Selatan untuk kemudian bergabung dengan sisa-sisa keluarga diraja imperium Melaka di Johor-Riau dan membangun kembali peradaban di Selat Melaka pada abad ke-17; wira ‘lokal’-kah mereka? Bila contoh itu mungkin terlalu jauh dari masa kita sekarang, biarlah saya kemukakan dua contoh yang lebih dekat: Rusydiah Kelab yang ditubuhkan pada tahun 1888 di Kerajaan Riau-Lingga dan Daerah Takluknya; dan “peristiwa Ismail Suko” di Pekanbaru.

Dilihat dari kedalaman dan keluasan ‘gerakan’-nya, Rusydiah Kelab tak kalah (kalau tidak dapat dikatakan lebih luas) dibanding Boedi Oetomo 1908. Perkumpulan  ini menghimpun cendekiawan serantau, dan membangkitkan perlawanan akal-budi terhadap kuasa kolonial, bukan hanya Hindia-Belanda, tetapi juga Inggris di Semenanjung. Gerakan lokalkah itu? Pun “peristiwa Ismail Suko”, ketika sejumlah anggota parlemen Riau mengalahkan ‘titipan pusat’ (Imam Munandar) sebagai calon Gubernur Riau. Mengapa dua kasus itu selalu ditempatkan sebagai ‘gerakan lokal’? Mengapa bukan tahun 1888 (ditarik dari penubuhan Rusydiah Kelab) yang dijadikan titik-mula gerakan kebangsaan? Mengapa “peristiwa Ismail Suko” hanya menempati ruang sejarah politik ‘lokal’, meski getar dan gegar moralnya dalam ‘demokratisasi’ Indonesia menjangkau ruang ‘nasional’?

Lihat Juga

Catatan Al azhar: Kedaulatan Adat di Negeri ‘Padang Perburuan’

Bagikan  Catatan ini disampaikan sebagai pengantar dalam pembukaan acara “Dialog Virtual Kedaulatan Adat Melayu di ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!