LAM Riau Lembaga Adat Melayu Riau
Subversi menjadi semangat yang mengemuka dalam penulisan sejarah Muhammad Saleh atau Tuanku Tambusai berikut kontroversi terkait bentengnya di Dalu-dalu. Sudah berpuluh tahun buku Mahidin Said (Almarhum) ditulis dan diterbitkan, diikuti buku Umar Ahmad Tambusai. Kedua-dua buku tersebut tetap dianggap sunyi, terkurung dalam ‘lokalitas’nya. Maka orang-orang di Riau ‘mengaruk’: mengorganisir gerakan ‘menasionalkannya’. Semangat subversi itu saya tafsirkan dari ucapan yang paling sering digunakan waktu itu: Riau tidak menumpang merdeka dari penjajahan asing.
Tidak tanggung-tanggung: dalam periode akhir 1980-an itu, ada empat nama pejuang yang diusung, yaitu Raja Haji Fisabilillah, Tuanku Tambusai, Sultan Syarif Kasim II, dan Panglima Besar Tengku Sulung. Sebagai refleksi, tahap yang paling sukar dalam memperjuangkan mereka menjadi Pahlawan Nasional, bukanlah meyakinkan para ‘sejarawan nasional’ tentang heroisme perjuangan mereka, melainkan meyakinkan perangkat inti pusat kekuasaan politik di Jakarta bahwa para pejuang itu layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Tiga dari empat nama itu sudah disahkan sebagai Pahlawan Nasional. Panglima Besar Tengku Sulung masih tercecer, sebaliknya muncul pula nama Raja Ali Haji. Lalu, menyusul diperjuangkan yaitu Sultan Zainal Abidin, tapi gagal. Belakangan, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Riau-Lingga pun harus menunggu selama lima tahun sampai akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2017. Beberapa tahun terakhir diusulkan pula Mahmud Marzuki dari Kampar, dan mari sama-sama kita tunggu apakah ‘Jakarta’ akan mengukuhkannya dalam peringatan Hari Pahlawan 2018 ini.
