Pohon sialang bukan merupakan satu jenis pohon, melainkan sebutan untuk pohon yang menjadi ”rumah” bagi lebah bersarang. Biasanya adalah pepohonan yang dapat tumbuh besar dan lebih tinggi dari pohon-pohon di sekitarnya. Pohon-pohon yang dapat tumbuh menjadi pohon sialang adalah yang batangnya lurus dan dapat tumbuh meninggi melebihi pepohonan di sekitarnya, semisal pohon kempas/ kompeh (Koompassia malaccensis), menggeris (Koompassia excelsa), benuang (Octomeles sumatrana), cempedak air/ pudu (Artocarpus maingayi), rengas (Gluta renghas L.), pulai (Alstonia scholaris), ara sialang (dari genus Ficus), dan lain-lain. Pohon-pohon ini disukai lebah madu Apis dorsata binghami untuk bersarang karena ketinggiannya memungkinkan mendapat sinar matahari dan terlindung dari ancaman.
Pohon sialang tidak dapat tumbuh sendiri, harus berada dalam habitat hutan bersama pepohonan lain, yang disebut “rimba kepungan sialang”. Lebah-lebah memerlukan bunga-bunga untuk dihisap nektarnya, sehingga sialang sering ditemukan berada di tengah hutan atau di hutan-hutan yang berdekatan dengan ladang. Menurut orang Petalangan, dulu lebah bersarang sebanyak empat kali dalam setahun. Keempat musim itu adalah musim bunga jagung, musim bunga padi, selesai menuai, serta masa menebang dan menebas ladang. Dengan jarak antar musim sekitar tiga bulan. Setiap musim menentukan karakter madu yang dihasilkan, karena pengaruh nektar yang diambil lebah. Madu yang paling diminati yaitu madu lebah pada musim bunga padi. Warnanya keputihan dan rasanya enak. Bila pohon sialang sudah dihinggapi lebah, disebut dengan “sialang sudah naik”.
Pohon sialang atau disebut tualang di beberapa daerah di alam Melayu (Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan) secara tradisional masuk dalam kategori kayu sakti, yang dipercaya memiliki penghuni, nyata maupun gaib berupa hewan berbisa seperti ular, lipan, kala, dan lain-lain; serta makhluk halus seperti mambang kayu, jembalang, dan orang bunian. Konon, adanya penghuni-penghuni berbahaya bagi manusia inilah yang membuat lebah merasa aman bersarang. Oleh karena itu, pengambilan madu di pohon sialang di Riau memerlukan perlakuan dan keahlian khusus (lihat Menumbai) yang selain untuk keamanan selama proses pengambilan madu juga untuk memastikan bahwa lebah akan bersarang kembali di pohon sialang setelah diambil madunya. (Sita Rohana)
Sumber:
U.U. Hamidy, 1983, “Menumbai”, dalam Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Penerbit Bumi Pustaka, hal. 171-191.
Yonhee Kang, 2002, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, emosi dan kuasa kata-kata magi di kalangan Orang Petalangan Riau, penerjemah: Sita Rohana, dalam Seri Monograf Kajian, Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK)-Universitas Riau, 2005.
http://www.pngplants.org/PNGtrees/TreeDescriptions/Octomeles_sumatrana_Miq.html
http://www.natureloveyou.sg/Koompassia%20malaccensis/Main.html
Link Terkait:
Satu komentar
Pingback: Pulai - LAM Riau