Lodoicea maldivica; Lodoicea seychellarum. Di Eropa dikenal sebagai Coco de Mer atau kelapa laut. Orang Melayu menyebutnya sebagai “pauh janggi” karena bentuknya serupa pauh berdempet, walaupun bukan spesies pauh (lihat Pauh). Janggi, menurut Wilkinson (1959), berasal dari kata “zan’gi” (Persia), yang dikaitkan dengan Zanguebar (Afrika Timur, Etiopia).
Melalui tulisannya Colóquios (1563), Garcia de Orta menyebut tentang “kelapa laut” yang hanya dijumpai di pantai Maladewa (Maldives), tanpa seorang pun tahu di mana pohonnya. Namun, Orta juga merujuk legenda Maladewa yang mengisahkan bahwa dulu Maladewa berada di dasar laut, ketika akhirnya timbul ke permukaan, pohon kelapa ini tetap berada di dasar laut. Ia juga menyebutkan khasiat yang dipercaya orang setempat, bahwa kelapa ini dapat menawarkan racun. Pada tahun 1743 baru diketahui bahwa buah ini merupakan endemik dari Kepulauan Seychelles di Samudera Hindia. Namun, teks Orta masih menjadi rujukan botani hingga tahun 1776 ketika Sonnerat menerbitkan laporannya setelah mengamati sendiri pohonnya di Seychelles.
Pauh janggi adalah spesies palma terbesar dunia dengan ketinggian mencapai 30 meter dan terancam punah (terdaftar pada 2011 IUCN Red List dengan tanaman dewasa tercatat kurang dari 9.000 batang). Daunnya serupa kipas sepanjang 7-10 meter panjang dan 4-5 meter lebar. Pohon jantan dan betina berbeda, hanya pohon betina yang berbuah. Tangkai bunganya mencapai 1 meter panjangnya. Buahnya, terbesar dan terberat di dunia, bisa mencapai 40 kilogram beratnya dan memerlukan waktu 6-7 tahun untuk masak di pohon. Isi buahnya seperti jeli. Setelah masak dan jatuh, memerlukan dua tahun untuk tumbuh bertunas. Selanjutnya, perlu 25-40 tahun lagi untuk berbunga dan berbuah.
Di masa lalu, buahnya yang jatuh dibawa gelombang hingga ke Laut Arab, Maladewa, Sri Lanka, pantai Malabar, India, hingga pantai timur Afrika; berakhir dengan terdampar di pantai atau ditemukan oleh para pelaut ketika mengapung di lautan. Pauh janggi dikenal di Arab dan Eropa sejak abad ke-16 karena dipercaya memiliki kekuatan magis (sebagai jimat) dan karena kemampuannya menawarkan racun. Pada masa Kekaisaran Romawi Suci di abad ke-16, pauh janggi dihargai dengan emas berkali lipat beratnya dari berat buahnya. Pauh janggi, baik utuh maupun hanya bagiannya, beredar di Goa, Lisbon, London, dan Amsterdam. Kemampuannya sebagai penawar racun dinilai melebihi batu geliga (bezoar stone, jenis terbaiknya berasal dari Siak) yang sangat masyhur di pasar Eropa sejak abad ke-16. Begitu berharganya buah ini, di Maladewa, pauh janggi yang terdampar harus segera diserahkan kepada raja atau yang menyimpannya akan dihukum mati.
Pauh janggi yang ditemukan terdampar di pantai biasanya sudah tinggal tempurung, kulit serabut luar dan isi buahnya sudah lapuk oleh air laut. Dalam keadaan seperti ini pula pauh janggi ditemukan oleh para pelaut mengapung atau timbul ke permukaan laut, sehingga muncul legenda bahwa pauh janggi adalah buah yang pohonnya tumbuh di dasar laut.
Dalam legenda Melayu, pauh janggi dipercaya sebagai pohon yang tumbuh di “tebing runtuh”, di “pusat tasik”, danau yang berada di tengah samudera yang kemudian disebut dalam kisahan-kisahan sebagai “pusat tasik pauh janggi”. Legenda serupa juga berkembang di Afrika, bahwa pauh janggi yang mereka sebut dengan “kelapa laut” ini pohonnya berada di dasar laut dan dijaga seekor burung garuda. Sesekali pohon ini muncul ke permukaan mengakibatkan laut bergolak (berpusar). Kapal-kapal yang berada di dekatnya tidak akan bisa menghindar, lalu awak kapalnya menjadi mangsa burung garuda.
“Pusat tasik pauh janggi” digambarkan dengan arus yang berpusar. Begitu juga dalam legenda Afrika, kemunculan pohon pauh janggi dari dasar laut menyebabkan gelombang kuat yang berpusar. Gelombang laut yang berpusar dalam istilah ilmiah disebut sebagai maelstrom (dari bahasa Belanda yang berarti arus berpusar), yang kekuatannya dapat menghisap kapal besar sekalipun dan menenggelamkannya di dasar laut. Maelstrom adalah fenomena alam yang lazim terjadi karena pertemuan dua arus kuat, dua arus berbeda suhu, atau dua arus berbeda kadar garam, yang juga lazim di daerah tropis seperti Samudera Hindia. Barangkali pauh janggi terhisap di dalam pusaran itu, kemudian muncul di tempat lain dan nampak seperti baru timbul dari dasar laut. Wallahua’lam.
Selain hadir dalam legenda dan kisahan lisan, pauh janggi juga muncul dalam naratif-naratif Melayu seperti Syair Ken Tambuhan (A. Teeuw, 1966), yang mengisahkan tentang Ken Tambuhan yang hamil dan mengidam pauh janggi.
Di Pekanbaru, ‘pauh janggi’ digunakan sebagai nama untuk salah satu balai di kediaman Gubernur (Gedung Daerah) Riau. (Sita Rohana)
Rujukan:
A.B. Damania, “The coco-de-mer or the double coconut (Lodoicea maldivica): Myths and facts, dalam Asian Agri-History 17 (4): 299-309, Oktober 2013.
Emma J. Morgan, Christopher N. Kaiser-Bunbury, Peter J. Edwards, Frauke Fleischer-Dogley, dan Chris J.
Joâo Paulo S. Cabral, “The extraordinary Maldives’ (Seychelles) coconut: Legends, Myths adn Realities of natural history in the 16-18th centuries”, dalam História das Ciéncias para o Ensio – Atas do Colóqio II, ha;. 5-29, 3-4 Oktober 2014.
Kettle, “Tracing coco de mer’s reproductive history: Pollen and nutrient limitations reduce fecundity”, Ecology and Evolution 7(19), hal. 7765-7776, Oktober 2017.
R.J. Wilkinson, A Malay- English Dictionary, London: Macmillan & Co Ltd., 1959.
https://stories.rbge.org.uk/archives/25845
https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Legends_of_the_Coco_de_Mer&oldid=465128609