Beranda / Matabudaya / Gambus Selodang

Gambus Selodang

Bagikan
Gambus Selodang (Foto: Ary Sandy)

Gambus adalah salah satu alat musik chordophone (bunyi yang dihasilkan oleh dawai), yang dibunyikan dengan cara dipetik (dalam istilah di Siak: dipeting). Di dalam khasanah musik Melayu, orang pada umumnya mengenal dua jenis gambus. Pertama, gambus ud yang biasa terdapat dalam musik-musik Timur Tengah. Alat musik ini sudah dikenal sejak lama, dan ditemukan pada lukisan dinding peninggalan peradaban Mesir Kuno dan Mesopotamia. Gambus ‘ud kemudian disempurnakan oleh orang Arab dan menjadi alat musik zaman keemasan bangsa Arab. Di Mekkah, gambus ‘ud diketahui pertama kali muncul pada abad ke-6 M, yang kemudian diperkenalkan oleh bangsa Moor ke Eropa selama pendudukan Spanyol (711-1492 M).

Syrian Oud made by Abdo Nahat in 1921 (Foto: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Oud2.jpg)

Kedua, gambus selodang. Bentuknya mirip ‘ud juga, dan muncul di alam Melayu sebagai hasil dari interaksi dengan budaya Timur Tengah yang menyertai masuknya Islam ke Nusantara. Di Riau, gambus selodang semula dimainkan untuk mengiringi tari Zapin di istana Siak dan di rumah-rumah orang terkemuka; kemudian berkembang sebagai alat musik hiburan dan acara-acara sosial. Disebut gambus ‘selodang’ karena bentuk punggungnya yang berfungsi sebagai resonator menyerupai selodang (seludang), pembungkus mayang kelapa atau pinang. Ukuran punggung (resonator) gambus selodang agak kecil, tidak sebesar dan sebuncit gambus ‘ud.

Gambus Selodang (Foto: Ary Sandy)

 

Bagian dan Bahan Gambus Selodang

  1. Badan gambus selodang, dibuat dari batang kayu tunggal pohon nangka, cempedak, seminai, atau leban. (Gambus ‘ud juga dibuat dari potongan kayu tunggal keras namun lentur, yaitu kayu keras tropis merah tua, mahoni, mapel, atau pohon sycamore).
  2. Sangkutan dawai (pegbox), biasanya terbuat dari aluminium, tempat mengikat dawai-dawai yang dilekatkan di ekor gambus selodang.
  3. Tempat memeting (resonator), bagian badan gambus selodang yang berongga, ditutup dengan kulit lembu, kerbau, atau kambing yang sudah ditipiskan. (Resonator gambus ‘ud ditutup dengan kayu yang ditipiskan, dilubangi tengahnya, dan dihias dengan motif-motif ukiran).
  4. Kuda-kuda (bridge), penahan dawai-dawai agar tidak menempel pada badan gambus ketika direntangkan, terbuat dari kayu yang dilekatkan pada bagian pangkal badan gambus (soundboard).
  5. Leher (neck), bagian badan gambus yang mengecil, pegangan untuk mengatur nada-nada yang dihasilkan dari jari-jari.
  6. Telinga, pasak yang ditempatkan di lubang-lubang yang dibuat di kiri-kanan kepala gambus; jumlahnya sebanyak dawai yang dikehendaki (sekurang-kurangnya 7). Fungsinya sebagai tempat mengikat ujung dawai sekaligus pengatur (penyetel) nada.
  7. Dawai (tali, senar), berjumlah 7 (tujuh) helai, direntang berpasangan kecuali dawai yang paling atas (nada terendah), mulai dari pengait dawai di ekor gambus sampai ke telinga. Akhir-akhir ini, jumlah dawai itu ada juga yang bertambah menjadi 9 (sembilan) atau 11 (sebelas), seperti pada ‘ud Arab. Jenis dawainya bisa senar gitar, atau nilon.
  8. Kepala gambus, ada yang diukir dengan bermacam-macam bentuk, seperti bentuk kepala burung, haluan sampan, dan lainnya.
  9. Pemeting (pemetik; plectrum) dawai, terbuat dari tanduk yang diraut sehingga lentur jika digunakan. (Untuk ‘ud, orang Arab menggunakan risha; orang Turki menggunakan mizrap; pada umumnya dibuat dari bulu ayam atau bulu burung rajawali yang diraut sesuai dengan keinginan pemakainya. Sekarang, pemeting ini biasa dipakai bahan dari plastik seperti map atau pemetik gitar (pick) yang agak lembut).

Pengaturan Nada
Dawai ke-1 gambus selodang biasanya diatur pada nada C atau D, yakni A-D-G-C atau B-E-A-D. Jika diatur menurut pola A-D-G-C, maka masing-masing berjarak 2½ nada (disebut kwart murni), yaitu interval (jarak) dari nada A ke D, nada D ke G, nada G ke C. Begitu pula jika memakai cara penyetelan B-E-A-D, yakni 2½ nada jarak dari nada B (dawai 4) ke E (dawai 3), 2½ nada jarak dari nada E ke A (senar 2), 2½ nada jarak dari nada A ke D (senar 1).

Metode Permainan dan Lagu
Pemain gambus selodang biasanya memetik (memeting) dawai dengan tangan kanan, sedangkan jari tangan kirinya digunakan untuk menekan dawai sesuai nada-nada yang diinginkan pada leher (neck) gambus. Tangan kanan memegang pemeting. Selain memeting, pemain gambus selodang juga bernyanyi diiringi oleh beberapa orang penabuh gendang kecil yang disebut dengan marwas (paling sedikit tiga  marwas dengan tiga orang penabuh).

Permainan gambus dan marwas ini mulanya adalah untuk mengiringi tarian Zapin. Sebelum menari Zapin, pemain gambus selodang terlebih dahulu memeting gambus yang dimulai dengan bagian solo (solo part) secara improvisasi (melodi lagu secara spontan), yang dalam istilah tari Zapin disebut dengan selo sembah. Seterusnya, ketika pemain gambus mulai menyanyikan aksen kuat pada lirik lagu, para penari Zapin pun mulai menari hingga berakhir satu bait lagu. Bait-bait lagu umumnya berupa pantun. Selesai satu bait lagu, maka penabuh gendang marwas mengeraskan bunyi marwasnya yang disebut dengan istilah santing, sampai tarian Zapin berakhir. Apabila pemain gambus selodang merasa sudah seharusnya berhenti, atau para penari Zapin meminta berhenti, maka melodi gambus selodang mengubah lagu yang dimainkannya dengan istilah tahto atau tahtim (coda atau ending pada istilah musik Barat).

Lagu-lagu yang mengiringi tarian Zapin tradisional, atau lagu-lagu yang biasa dimainkan pemain gambus selodang pada umumnya adalah lagu anonim (tidak diketahui siapa penciptanya). Untuk mengiringi tarian Zapin tradisional lagu-lagunya pada umumnya memakai birama 4/4. Misalnya, lagu Zapin ‘Bismillah (Ya Malim)’, ‘Pulut Hitam’, ‘Nasib Lancang Kuning’, ‘Na’am Saidi’, ‘Gambus Palembang’, ‘Tanjung Bali’, ‘Sahabat Laila’, ‘Kak Jando’, ‘Sayang Cik Esah’, ‘Rajo Beradu’, ‘Angin Utara’, ‘Lancang Kuning’, ‘Kasih dan Budi’, ‘Zapin Sayang Serawak’, dan lainnya. Pada masa lampau, di Siak Sri Indrapura, selain irama Zapin yang memakai birama 4/4, juga dimainkan irama zapin 3/4 yang bernama ‘Zapin Ya Umay’, namun jenis irama ini hampir tidak pernah lagi dimainkan sekarang.

(Zuarman Ahmad/ AA)

Lihat Juga

Marsden dan Pantun Melayu (tahun 1812)

Bagikan Pengantar William Marsden (1754-1836), seorang linguis dan sejarawan Inggris, adalah ilmuwan pioneer untuk kajian ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!