Pada zaman kerajaan Rokan dipimpin Yang Dipertuan Sungai Daun Pekaitan, dikisahkan ada seorang puteri yang sangat cantik jelita tiada bandingnya. Ia bernama Puteri Hijau. Banyak raja menginginkan sang putri menjadi permaisurinya, termasuk raja dari Portugis dan juga raja dari kerajaan-kerajaan tetangga. Puteri Hijau berasal dari Gunung Ledang di daratan Melaka. Selain terkenal dengan kecantikannya, sang puteri juga sangat sakti. Ia berkelana dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Dari Melaka, Bintan, sampai ke negeri Tiongkok. Puteri Hijau diramalkan akan berjodoh dengan seorang lelaki yang juga termasyhur di seluruh dunia. Lelaki itu mempunyai ciri khas ada parutan bekas luka di keningnya. Namun, meski sudah merantau sekian jauh hingga ke negeri Cina dan Keling, yang dicarinya tidak juga bertemu.
Pada suatu hari, Puteri Hijau sampai ke Pekaitan. Ia menyamar sebagai seorang nenek tua dan menumpang di rumah salah seorang petinggi kerajaan, Datuk Penyarang namanya. Datuk Penyarang adalah kepala hulubalang di kerajaan Rokan.
Ketika menginap di rumah Datuk Penyarang, sang puteri melihat bahwa di kepala Datuk Penjarang ada parutan bekas luka.
“Yang dicari sudah bertemu,” gumam Puteri Hijau. Meski rupanya ada yang kurang sedikit, tak mengapa, pikirnya.
Datuk Penyarang adalah orang termasyhur sebagai hulubalang kerajaan yang gagah berani. Namun, budi pekertinya agak kasar. Inilah sebabnya Putri Hijau agak enggan mengatakan isi hatinya atau menunjukkan rupa aslinya kepada Datuk Penyarang.
Putri Hijau selalu diintai anak raja-raja dan orang besar kerajaan untuk diambil sebagai istri, sehingga ia menyamar sebagai orang tua. Sewaktu berada di Deli Tua, ia pernah dirampas Sultan Iskandar Muda.
Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di rumah Datuk Penjarang, sang datuk pun melihat tanda-tanda kalau yang menumpang di rumahnya bukan sembarang orang. Pada suatu malam, Datuk Penyarang melihat cahaya hijau di rumahnya ketika pulang dari istana. Ia tahu bahwa yang bercahaya hijau adalah jelmaan Putri Hijau yang banyak diceritakan orang di Gunung Ledang. Karena Putri Hijau tidak memberitahukan maksud kedatangannya, Datuk Penyarang menunggu kesempatan dan saat yang baik untuk bertindak. Bila saatnya tiba, Putri Hijau akan dilarikannya ke Siarangarang. Lagi pula, kalau Yang Dipertuan Besar mengetahuinya, sudah pasti Putri Hijau akan dirampas dari tangan Datuk Penyarang, sehingga akan menyulut pertarungan antara Yang Dipertuan dengannya. Maka ia pun merahasiakannya. Putri Hijau sendiri pun tidak diberitahu.
Hari berganti hari, masa berubah, musim beralih, tahun berganti tahun, maka Datuk Penyarang melaksanakan keinginannya. Pada suatu malam, ia menyiapkan peralatan sampannya yang bernama Landak Menari. Dihiasinya sampan itu secukupnya, dilengkapinya dengan berbagai perbekalan, serta alat kebesaran dan kurungan berkelambu kuning sebagai tempat sang puteri. Setelah selesai, ia masuk ke dalam dengan tidak memberitahu Yang Dipertuan Besar. Puteri Hijau dipaksanya masuk ke dalam sampan Landak Menari.
Setelah Puteri Hijau berada dalam kurungan sampan Landak Menari, Datuk Penyarang mengambil galahnya yang terbuat dari anak kayu meranti bujang. Galah pun ditekan sekuat tenaga dan sampan pun meluncur selaju-lajunya meninggalkan pelabuhan Pekaitan. Sampan menuju ke hulu Sungai Rokan.
Dalam perjalanan, Datuk Penyarang membujuk dan merayu Putri Hijau agar mau kawin dengannya. Tetapi Putri Hijau belum mau mengakui bahwa Datuk Penyaranglah orang yang dicarinya.
Setelah beberapa saat, mereka sampai pada satu tempat di tepi Sungai Rokan. Perahu Landak Menari pun ditambatkan. Datuk Penyarang kembali merayu Puteri Hijau agar mau kawin dengannya. Putri Hijau bimbang. Setengah hatinya mau, setengah lagi tidak. Maka oleh Datuk Penyarang tempat ini dinamakannya Sangko Duo, artinya Putri Hijau berbagi dua pikirannya, separuh hatinya mau kawin dengan Datuk Penyarang separuh tidak, sampai sekarang tempat itu bernama kampung Sangko Duo.
Setelah itu, perjalanan diteruskan hingga sampai pada suatu tempat dan perahu Landak Menari ditambatkan. Sekali lagi Datuk Penyarang membujuk Putri Hijau dengan lemah lembut dan memuji-muji kecantikan Putri Hijau.
“Aku akan buatkan sebuah mahligai yang indah untukmu, dinda,” ujar Datuk Penjarang. Tuan Puteri diam saja. Tempat ini kemudian dinamai Kampung Pemujukan.
Kemudian perjalanan diteruskan lagi. Perahu pun digalah dengan laju. Sampailah ke satu tempat yang sangat indah. Pepohonan berbaris dengan teratur. Sinar matahari senja memancarkan cahaya kekuning-kuningan ibarat padi yang sedang masak di sawah. Perahu pun ditambatkan ke tepi. Putri Hijau terpukau pada keindahan alam di depan matanya. Datuk Penyarang mempergunakan kesempatan untuk merayu Putri Hijau. Menurut cerita, di tempat inilah Putri Hijau mau menikah dengan Datuk Penyarang. Maka tempat ini kemudian dinamai dengan nama Padang Pendapatan. Karena Datuk Penjarang telah mendapat kesepakatan dengan Putri Hijau untuk bersama-sama hidup sebagai suami-istri. Letak Padang Pendapatan ini sebelah hulu Pemujukan dan sebelah hilir Danau Raya, di hilir Siarangarang.
Kemudian perahu pun digalahnya lagi. Sesampai di suatu tempat yang kini dikenal sebagai Siarangarang, perahu ditambatkan. Putri Hijau dan Datuk Penyarang naik ke darat. Datuk Panyarang kemudian membangun sebuah mahligai beratapkan ijuk dan diisikan alat-alat kebesaran kerajaan. Sewaktu Putri Hijau naik ke mahligai, capeng Putri Hijau sebelah kiri yang terbuat dari perak tersangkut di pintu, lalu jatuh ke tanah, dan hilang. Konon, capeng Putri Hijau yang terbuat dari perak itu ditemukan oleh seorang Belanda pada masa penjajahan. Tetapi capeng sebelah kanan yang terbuat dari emas masih ada dalam gua bekas mahligai Putri Hijau. Menurut kepercayaan setempat, para pencari rotan atau kayu api yang beruntung pergi ke hutan itu bisa bertemu dengan capeng Putri Hijau. Benda kuning emas itu biasanya tampak tergeletak di atas pematang Bukit Siarangarang dan tak boleh diganggu karena dijaga ular besar. Menurut keterangan warga setempat, capeng itu berukuran dua jengkal.
Berita tentang Putri Hijau yang termasyhur terdengar hingga ke Kerajaan Aceh. Tak lama kemudian pasukan Aceh pun datang memasuki Sungai Rokan dan menyerang Datuk Penyarang. Lalu Datuk Penyarang bergabung Panglima Nayan. Akhirnya, Pasukan Aceh berhasil dipukul mundur. Mereka lari ke hulu sampai di Kuala Mahato, dan terus berjalan kaki menuju Panai. Menurut cerita, sekarang masih ada makam orang Aceh di Kuala Mahato.