Ada tiga spesies bidara yang dapat ditemui di alam Melayu, yaitu bidara laut (Ziziphus mauritiana), bidara Arab (Ziziphus spina-christi), dan bidara Cina (Ziziphus zizyphus; Ziziphus jujuba). Bidara laut adalah jenis pohon semak yang lazim tumbuh di alam Melayu, meskipun mulanya tumbuh di Afrika Selatan kemudian menyebar ke Timur Tengah hingga ke Asia Selatan, Cina, Asia Tenggara, Pasifik, dan Australia. Ketinggian dapat mencapai 15 meter. Pohon ini memiliki percabangan yang menyebar dengan banyak ranting. Daun-daun penumpunya berduri, tumbuh berpasangan, berbentuk oval, bertepi rata, pada bagian atas halus licin dan bagian bawahnya berbulu keputihan. Bunganya berbentuk payung tumbuh berkuntum di ketiak daun, berukuran kecil, warna kekuningan, agak harum, memiliki lima helai kelopak, berbulu di luarnya dan halus di sisi dalam. Sedangkan buahnya berkulit licin berkilat dan padat. Kulit buahnya berwarna hijau ketika muda, kuning ketika masak, dan merah ketika ranum. Ukuran buahnya sekitar 4 x 6 sentimeter. Teksturnya buahnya lembut, berair, dengan aroma menyelerakan. Isinya ketika masak menyerupai apel, berwarna putih, dan rasanya masam manis. Buah yang ranum menjadi kurang berair, permukaan luarnya berkedut, lembut, dan berbau apak. Biji kerasnya berjumlah dua, berada di bagian dalam. Buah bidara biasa dimakan sebagai buah segar, namun juga dapat dikeringkan atau dibuat manisan dan rujak. Kayunya berwarna kemerahan, berserat halus, keras, dan tahan lama. Kayu ini dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan perkakas rumah tangga, serta pewarna. Daun, buah, biji, kulit kayu, dan akarnya merupakan herba tradisional untuk mengobati beragam penyakit.
Jenis bidara Cina buahnya lebih kecil (1,5 x 3 sentimeter) dan jika ranum buah akan berubah warna menjadi keunguan dan berkedut semacam korma, sehingga sering disebut sebagai korma Cina atau korma India. Biji dalamnya hanya satu. Namun, daun, bunga, dan pohonnya kurang-lebih sama dengan bidara laut.
Sedangkan bidara Arab buahnya sedikit lebih besar dari bidara Cina (2-3 x 4 sentimeter) dengan biji tunggal, serupa korma, bila masak berwarna kuning dan memerah ketika ranum. Daun, bunga, buah, dan pohonnya pun kurang-lebih sama dengan bidara laut. Yang khas dari jenis ini adalah durinya yang lebih panjang dari jenis bidara lainnya. Bidara Arab memiliki makna penting bagi orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim. Nama latin bidara Arab, Ziziphus spina-christi, diperoleh dari kisah Isa Almasih (Yesus Kristus) yang diberi “mahkota duri” di kepalanya menjelang penyaliban. Mahkota duri tersebut terbuat dari ranting bidara Arab, sehingga di negara berbahasa Inggris bidara jenis ini lazim disebut sebagai Christ’s Thorn Jujube (bidara mahkota duri Kristus).
Bidara Arab tumbuh di benua Afrika, Asia Selatan, dan Asia Barat, yang menyebar hingga ke Asia Tenggara mengikut persebaran agama Islam. Dalam agama Islam bidara (al sidr) merupakan buah istimewa, selain delima, kurma, tin, zaitun, dan anggur. Quran menyebut bidara dalam beberapa suratnya, antara lain:
“Tetapi mereka berpaling, lalu Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit dan pohon Asl serta sedikit pohon Sidr.” (QS Al-Saba’ (34): 16).
“Mereka berada di antara pohon bidara yang tidak berduri.” (QS Al-Waqi’ah (56): 28).
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha.” (QS An-Najm (53): 13-14).
“di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (QS An-Najm (53): 15-16).
Selain itu juga dalam Hadits:
Diriwayatkan dari Aisyah r.a.: “(Apabila hendak mandi wajib) salah seorang antara kalian (wanita haid), ambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu bersuci (sehingga sempurna). Kemudian tuangkan air di atas kepala seraya menggosok sehingga sampai air ke akar-akar rambutnya, kemudian ratakan seluruh tubuh dengan air.” (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Qays Ibn ‘Asim r.a.: “Apabila aku masuk Islam, lantas Nabi SAW memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun bidara.” (HR al-Nasa’i).
Diriwayatkan dari Ummu ‘Atiyyah r.a.: “Nabi SAW pernah menemui kami sedangkan kami ketika itu sedang memandikan puterinya (Zainab), lalu Nabi SAW bersabda, ‘Mandikanlah dia tiga, lima, (atau tujuh) kali, atau lebih dari itu. Jika kalian perlu, maka gunakan air dan daun bidara. (Ummu ‘Atiyyah berkata), ‘Adakah dengan bilangan ganjil?’ Beliau bersabda, ‘Ya. Dan campurkanlah di akhir mandinya kafur atau sedikit darinya.” (HR al-Bukhari).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW melarang orang Arab menebang pohon bidara sebagaimana disebutkan dalam Hadits berikut:
Dari ‘Abd Allah bin Habsyi: “Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah SWT akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” (HR Abu Dawud).
Di alam Melayu, bidara yang dirujuk sebagai pohon yang memiliki fungsi kultural penting adalah jenis bidara Arab, sebab inilah yang dirujuk dalam Quran dan Hadits, yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW di Mekah dan Madinah. Mengikut sunnah, orang Melayu meyakini bahwa daun bidara memiliki kemampuan “membersihkan” dan “menyucikan”, sehingga menjadi perlengkapan penting untuk “mandi suci”, termasuk untuk memandikan orang yang diyakini dirasuki oleh roh jahat.
Bidara digunakan pula untuk sampiran sejumlah pantun, misalnya dalam senikata (lirik) lagu “Pengorbanan” yang dinyanyikan biduanita Rafeah Buang:
Nasilah lemak buah bidara
Sayang selasih hamba lurutkan
Tinggallah emak tinggal saudara
Karena kasih hamba turutkan
(Sita Rohana/Ary Sandy)
Rujukan:
Khadher Ahmad, et. al., “Tumbuhan Bidara dalam Al-Qur’an dan Hadith: analisis terhadap manfaatnya berasaskan kepada penyelidikan semasa”, ResearchGate, Februari, 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Bidara
https://id.wikipedia.org/wiki/Ziziphus_spina-christi
http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?id=Ziziphus+spina-christi
https://en.wikipedia.org/wiki/Jujube
http://bbppketindan.bppsdmp.pertanian.go.id/blog/bidara-berkhasiat-dan-penangkal-gangguan-sihir
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah per-Kata, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh LajnahPentashih Mushaf Al-Quran, Departemen Agama RI, 2007.