
Pengertian dan Ikhtisar Sejarah
Zapin adalah seni pertunjukan yang memadukan tari dan musik. Di Riau, seni Zapin pada awalnya tumbuh di lingkungan kerajaan Siak, sebagai hasil interaksi antara elit-elit istana dengan orang dan atau pedagang Arab yang datang ke kerajaan itu. Alkisah, pada suatu hari Raja Siak mendengar kabar bahwa ada orang-orang membuat perhelatan di rumahnya, dengan menampilkan tarian yang disebut Zapin. Baginda kemudian memanggil orang (Arab) yang menari itu ke istana, dan mengajarkannya di istana. Lalu, tarian itu menjadi hiburan di lingkungan istana, para pembesar, dan kerabat diraja kerajaan Siak. Belakangan, tarian ini menyebar ke luar istana, menjadi seni popular di tengah-tengah kehidupan masyarakat Melayu Riau, terutama di wilayah pesisir.
Menurut orang tua-tua di Siak dan Pekanbaru, kata ‘zapin’ berarti ‘langkah kaki’, yang merujuk pada istilah bahasa Arab zafin (langkah, melangkah), zaf (alat petik berdawai 12), dan al-zafn (mengambil langkah atau mengangkat satu kaki). Tarian Zapin semula hanya ditarikan oleh dua lelaki secara berpasangan. Belakangan, baru berkembang menjadi tari yang ditampilkan baik laki-laki maupun perempuan. Tari Zapin memang bersumbu pada gerakan kaki para penarinya, yang disesuaikan dengan paduan rentak atau ritma tiga unsur musikal, yaitu gambus, marwas, dan nyanyian. Ketiga unsur musikal tersebut diperdengarkan (dimainkan) untuk mengantar tahapan-tahapan dan perpindahan (transisi) gerak penari, sesuai dengan kaidah zapin.
Susunan Langkah, Rentak, dan Melodi
Gerak dan langkah-langkah tari Zapin tradisi Siak memiliki istilah-istilah yang baku. Gerak langkah kaki awal menari disebut Selo Sembah. Di masa lalu, gerak ini merupakan penghormatan terhadap raja atau pembesar. Selo Sembah dimulai dari melodi lagu solo gambus selodang yang akan dinyanyikan, biasanya oleh pemain gambus itu sendiri.
Berikutnya, penari melangkah Alif Satu, yaitu sut tiga kali ke depan, diikuti sut lima kali di tengah, yang disebut dengan “permulaan menari”, yang melambangkan rukun Islam. Permulaan menari ini ditandai oleh pemain gambus dengan memulai nyanyian (vokal) bait pertama, ditingkah dengan bunyi marwas. Seterusnya Alif Dua, dengan langkah sut depan dua kali dan sut tengah sebanyak dua kali, yang disebut dengan “awal menari”. Ini melambangkan kitab suci Al-Quran dan Hadits.
Langkah zapin yang terdiri dari empat langkah, setiap geraknya melambangkan sifat Rasul (shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh). Langkah ini merupakan syariat yang bertalian dengan ruh yang menegakkannya. Setiap langkah zapin mempunyai bungo (bunga) yang terdiri dari 13 gerak, melambangkan tiga belas rukun sembahyang; diakhiri dengan pecah delapan sut yang artinya mengakhiri dengan mengambil air sembahyang.
Bungo Alif, yaitu awal membuat bunga, terdiri dari 13 bunga yang masing-masing mengandung makna tertentu. Tiga belas bunga itu terdiri atas bungo alif, geliat, pusing tengah, siku keluang, pusing sekerat, anak ayam patah, pecah delapan, pusing tak jadi, tongkah (melawan arus), tahto terjun, sut tiga kali depan, sut maju mundur, dan pecah delapan sut.
Dalam Zapin klasik Siak, penari pada umumnya mengepalkan telapak tangan kirinya sewaktu menari, yang bermakna memegang amanah dari Allah. Sedangkan tangan kanan melenggang sesuai dengan irama langkah kaki. Selain ciri khas telapak tangan kiri terkepal, Zapin Siak juga dikenal dengan genjo atau enjut-nya (seperti staccato atau sincope dalam istilah musik).
Ketika tarian berlangsung, lagu dinyanyikan bait demi bait. Di antara bait yang satu dengan bait berikutnya, penabuh marwas mengeraskan pukulannya yang disebut dengan santing atau doguh (dalam istilah musik umum disebut dengan forte). Bunyi yang dikeraskan ini bermakna “mengambil semangat” atau “naik syekh” bagi penari zapin.

Lagu-lagu rentak Zapin yang lazim dinyanyikan dalam pertunjukan Zapin klasik, antara lain berjudul ‘Pulut Hitam’, ‘Sahabat Layla’, ‘Kak Jando’, ‘Sayang Cik Esah’, ‘Rajo Beradu’, ‘Ya Malim’ (Zapin Bismillah), dan lain-lain. Dari judul-judul itu, yang paling terkenal adalah lagu ‘Pulut Hitam’.
Seni tari ini berkembang luas di berbagai tempat di Nusantara, dengan berbagai penamaan setempat, seperti Zapin atau Zafin (di Riau, Kepulauan Riau, Malaysia, dan bekas-bekas kerajaan Melayu di Sumatera Timur), Dana Sarah (di Jambi), Bedana (di Lampung), Zafin (di Jawa pesisir dan Madura, terutama di kalangan komunitas keturunan Arab), Jepin atau Jepen (di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku); serta Dana-dani (di Nusa Tenggara).
Akhir-akhir ini, jenis musik yang semula menyatu dengan tari Zapin juga sudah lazim pula ditampilkan sebagai ekspresi tersendiri.
(Zuarman Ahmad/AA-SR)