Beranda / Orang Patut / Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri

Bagikan
(Foto: Dinas Kebudayaan Provinsi Riau)

Sutardji Calzoum Bachri (SCB) lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941 dari pasangan Mohammad Bachri dengan May Calzoum. Oleh karena ayahnya seorang polisi yang berpindah-pindah tempat tugas, tak pelak lagi menyebabkan SCB juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain juga di Riau. Selain di Rengat, masa kecilnya juga ditempuh di Bengkalis, Pasirpengarayan, Pekanbaru, dan Tanjungpinang—seperti menjelajahi kawasan jantung-jantung Melayu.

Semasa kecil SCB akrab dengan berbagai cerita rakyat yang disampaikan ibunya menjelang tidur. Ia juga menyerap begitu banyak tradisi pantun, gurindam, dan mantra yang dalam masyarakat Melayu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dalam kepungan tradisi dan kebudayaan itulah SCB  secara otodidak mempelajari kesusastraan, khususnya menafsir kembali keindahan puitik karya-karya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.

Setelah lulus SMA ia melanjutkan studi ke Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Bandung. Mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan ruang kebudayaan Sinar Harapan serta Berita Buana.

Pada masa itu kesusastraan Indonesia dan kesenian pada umumnya sedang memasuki fase mempertanyakan kembali segala bentuk estetika yang berkembang. Sejumlah eksperimentasi dilakukan. Eksistensialisme dan absurdisme menjadi kecenderungan. Beberapa sastrawan mencoba melakukan penggalian estetika dari tradisi tasawuf yang dikembangkan para penyair sufi di satu pihak dan tradisi etnisitas di lain pihak. Semangat yang mengemuka pada saat itu adalah kembali ke akar, kembali ke tradisi. Di antara sastrawan yang mengusung semangat tersebut, SCB tampil secara fenomenal.

Pada 1975 ia hijrah dari Bandung ke Jakarta. Lalu, ia menjadi salah seorang redaktur majalah sastra Horison. Di Jakarta, SCB seperti menemukan tempat yang tepat pada saat yang tepat. Lahirlah karya-karyanya yang secara sadar mencoba menghancurkan bentuk estetika sebelumnya. Puisi yang bermain dalam tataran kata dan makna kata, sintaksis dan semantik, dibongkar dengan mengusung kata yang merdeka. ”Kata-kata bukanlah mengantarkan pengertian … kata adalah pengertian itu sendiri. Ia bebas … Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea…”.

Dalam tataran pemahaman terhadap kata-kata itulah, SCB melihat mantra di kawasan Melayu Riau sebagai suatu pijakan kreatif.  Sebab dalam mantra Melayu, kata-kata selalu terlihat otonom, memiliki dirinya sendiri sehingga dapat memberi sesuatu kepada manusia yang dalam bahasa lain dapat juga disebut memiliki sugesti. SCB menyebutnya sebagai semangat kata-kata, sehingga kreativitas yang digelutinya berkisar pada bagaimana mengembalikan kata-kata pada hakikatnya yang sebenar.

Tak pelak lagi, auman SCB itu memang merupakan suara besar bagi daya cipta sastrawan karena bukankah pada hakikatnya pula, keberadaan sastrawan tidak terlepas dari memosisikan kata-kata. Sementara di kalangan umum, kata-kata senantiasa difungsikan bagi kepentingan si pemakainya, kemudian terjebak dalam pengertian-pengertian tertentu dan dipatrikan dalam makna kamus. Setidak-tidaknya, SCB sangat merisaukan keberadaan kata-kata sebagai elemen terpenting dalam bahasa.

Cuma di sisi lain, kata-kata sebagaimana halnya bahasa, pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulisan. Bagi kepentingan itu pulalah, maka SCB dengan amat fenomenal pula tampil sebagai pembaca puisi terdepan di Tanah Air, seperti berjalan seiring dengan sajak-sajak yang ditulisnya. Berbagai alat dipergunakannya untuk melengkapi kehadiran lisan atau pelisanan sajak-sajaknya itu, seperti harmonika. Tidakkah dengan demikian, dapat membayangkan bagaimana tradisi lisan Melayu Riau dilantunkan seperti pengkoba di Sungai Rokan yang tidak akan tinggal dengan gebanonyo.

Alkisah, musim panas 1974, Sutardji mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam. Oktober 1974 sampai April 1975 mengikuti International Writing Program di Iowa City, USA. Bersama penyair K.H. Mustofa Bisri, Taufiq Ismail, SCB diundang ke Pertemuan International Para Penyair di Baghdad, Irak. Pernah pula diundang Datuk Anwar Ibrahim (ketika masih menjabat sebagai Menteri Keuangan Malaysia) membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Dia Ikut menghadiri berbagai pertemuan sastrawan ASEAN, pertemuan sastrawan nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Pengelanaan SCB ke mancanegara itu tidak hanya mengangkat reputasi puisi SCB yang sarat dengan kultur kemelayuan, tetapi juga mengangkat reputasi kesusastraan Indonesia secara umum sebagai warga sastra dunia. Tahun 1997 misalnya, dengan sponsor Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, SCB dipercayai mewakili Indonesia untuk memenuhi undangan membaca puisi pada Festival Puisi Internasional Medellin, Colombia. Tahun 2004, membaca puisi pada Poetry Festival Durban, Afrika Selatan. Pada tahun yang sama juga membaca puisi di Tradewinds Literature International Festival, Capetown, Afrika Selatan. Ini disusul membaca puisi di Winternachten Poetry Festival di Den Haag, Belanda, 2005.

Buku O, Amuk, Kapak (1981) merupakan kumpulan puisinya dari tiga buah buku, yaitu O (1973), Amuk (1977; mendapat hadiah puisi DKJ 1976-1977), dan Kapak (1979).  Di samping itu, puisi-puisinya telah termuat dalam berbagai antologi, seperti Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from the World (USA), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kuststichting, 1975) dan Ik Wil Nog Dulzendjaar Leven, Negen Moderne Indonesische Dichter (1979). Juga dalam Ajip Rosidi (editor), Laut Biru, Langit Biru (1997), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36-37 (1997), dan lain-lain.  SCB juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Hujan Menulis Ayam (2001) dan kumpulan esai bertajuk Isyarat (2007). Ia bahkan menulis novel anak-anak berjudul Lumba-lumba Ungu (1984), kisah heorik anak-anak melawan serangan aksi polisionil tentara Belanda.

Sutardji mendapat berbagai penghargaan, antara lain Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), South East Asia Write AwardSEA Write Award (1979) dari Kerajaan Thailand, Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993), Penghargaan Mastera-Majelis Sastra Asia Tenggara (1995), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan dianugerahi gelar ”Sastrawan Perdana” oleh Dewan Kesenian Riau (2001). Pada tahun 2008, tepatnya pada tahun 14 Agustus 2008, SCB menerima dua penghargaan yaitu penghargaan Bintang Budaya Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award.

Sampai sekarang, kepenyairan Sutardji tetap kokoh sebagai salah satu monumen perjalanan kesusastraan Indonesia. Reputasinya menjadi salah satu alasan yang mengantarkan Sutardji Calzoum Bachri mendapat predikat ”Presiden Penyair Indonesia”. Sebuah julukan yang menunjukkan reputasi dan kewibawaannya sebagai penyair, sebagai maestro.

 

Sumber:
Buku Panduan Acara Penabalan Gelar Kehormatan Adat kepada Tuan H. Sutardji Calzoum Bachri, Lembaga Adat Melayu Riau, 29 Shafar 1440 H bersamaan 7 November 2018.

Lihat Juga

Sultan Syarif Kasim II: Tahta untuk Indonesia

Bagikan  Sultan Syarif Kasim II atau Yang Dipertuan Besar As-Syaidi s-Syarif Kasim Sani Abdul Jalil ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!