Beranda / Matabudaya / Porari Buladang

Porari Buladang

Bagikan

Porari adalah korojo samu (kerjasama), aktivitas kerjasama yang diatur menurut adat. Aktivitas ini melibatkan seluruh warga dengan ketentuan adat. Sifatnya mengikat dan wajib, meskipun dengan derajat dan situasi yang berbeda.

Bagi orang Melayu di Rokan Hulu, kewajiban komunal seorang individu adalah bagian penting dalam pernyataan identitas seseorang. Inilah yang dianggap sebagai inti dari kehidupan berpuak dan bersuku-suku. Seorang individu tidak dapat berdiri sendiri tanpa keluarga, kerabat, suku dan komunitasnya. Semua beban dan masalah seorang individu adalah juga tanggungjawab dari komunitasnya (suku dan lingkungan tempat tinggal). Sebagaimana termaktub dalam pepatah: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Porari adalah salah satu wujud dari adanya kewajiban komunal seorang individu terhadap komunitasnya, sebentuk pernyataan solidaritas bersama.

Porari (kadang disebut juga dengan prari), dalam bahasa Indonesia bermakna “per hari”, adalah sebutan untuk sistem kerjasama (kurojo samu, Rokan Hulu). Kerjasama ini dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, memerlukan keterlibatan orang di luar anggota keluarga.

Porari merupakan sistem kerjasama yang berkembang dalam peladangan. Pekerjaan yang dikerjakan dengan sistem kerjasama ini dalam istilah sehari-hari dikatakan sebagai di-porari-kan. Menurut pemahaman orang Melayu di Rokan Hulu, segala jenis pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dapat di­-porari-kan. Porari buladang terkait dengan aktivitas ekonomi peladangan.

Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan porari yang menunjukkan sifat aktivitasnya, yaitu jopuik porari (jemput porari), baya porari (bayar porari) dan baok porari (bawa porari). Jopuik porari  (jemput porari), artinya aktivitas mengundang orang untuk porari. Misalnya seseorang memerlukan bantuan tenaga menyelenggarakan pesta perkawinan. Lalu ia meminta beberapa orang untuk porari. Ia dikatakan “menjemput” (mengundang) porari. Jemput porari dilakukan dengan mendatangi orang-orang yang akan porari satu per satu, menyampaikan maksud kedatangannya dan mengemukakan tujuannya untuk mengundang porari, serta memberitahukan kapan waktunya.

Baya porari (membayar porari), artinya membayar orang-orang yang pernah melakukan porari untuknya. Meskipun memakai istilah “bayar”, porari hanya dapat dibayar dengan tenaga, bukan uang. Apabila seseorang pernah menjemput porari, maka ketika orang-orang yang diundangnya untuk porari mengundangnya, dikatakan ia membayar porari.

Baok porari (membawa porari), istilah ini merujuk pada orang yang punya kerja (tuan rumah), atau yang mengundang/ menjemput porari. Orang yang membawa porari menentukan waktu pekerjaan dilakukan.

Pada dasarnya porari adalah sistem kerjasama yang setiap anggotanya terikat kewajiban untuk membayar tenaga kepada orang-orang yang melakukan porari untuk kepentingannya. Akan tetapi, tidak semua porari harus dibayar, sebagaimana hutang yang wajib dibayar. Berdasarkan keharusan membayar pekerjaan ini, porari terbagi menjadi dua, yaitu:

  • aruih dibaya (harus dibayar), yaitu porari yang harus dibayar dengan tenaga (baya porari), untuk pekerjaan yang sama. Porari jenis ini mengikat seseorang untuk melakukan pekerjaan sejenis kepada orang-orang yang pernah membantunya. Pada umumnya porari jenis ini hanya untuk beberapa aktivitas ladang yang memang memerlukan pengerahan banyak tenaga kerja karena berburu dengan waktu. Keharusan dibayar ini dikarenakan semua orang memiliki kepentingan yang sama pada saat yang sama.
  • tak aruih dibaya (tak harus dibayar), kalau ada kesempatan boleh dibayar, kalau tidak tak dibayar juga tak apa-apa, dianggap longsong (lunas). Porari jenis ini mencakup beberapa pekerjaan ladang dan terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial seperti penyelenggaraan helat pesta, kematian dan peristiwa sosial lainnya. Karena sifatnya kebersamaan dan tidak mengikat, kadang keterlibatannya tidak memerlukan undangan perorangan. Begitu diberitahukan waktunya, orang akan datang untuk bekerja.

 

Pengerahan tenaga kerja dalam porari tidak selalu melibatkan banyak orang sebagaimana dalam gotong-royong pada umumnya. Pun tidak selalu porari dilakukan oleh seluruh komunitas atau kampung. Besar-kecilnya pengerahan tenaga kerja ditentukan oleh besar-kecilnya pekerjaan. Semua pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan sendiri, atau harus dikerjakan dua orang atau lebih dapat di-porari-kan. Berdasarkan jumlah orang yang terlibat di dalamnya porari terbagi tiga, yaitu:

  1. Porari godang (besar), porari ini melibatkan banyak orang, bahkan bisa sekampung.
  2. Porari moncik (kecil), yaitu porari yang pekerjaannya cukup diselesaikan dalam waktu satu hari saja, dengan waktu yang sudah ditentukan. Terbagi lagi berdasarkan jumlah orangnya menjadi:
  • 4 orang
  • 3 orang
  • 2 orang
  1. Porari seluduk, hampir sama dengan porari moncik, porari ini juga hanya melibatkan lebih dari dua orang dan kurang dari lima orang. Perbedaannya adalah pada waktu. Porari seluduk ditentukan waktunya sesuai perjanjian, dapat hanya berlangsung setengah hari atau melihat situasi dan kondisi. Misalnya pekerjaan menebas, menebang dan mengangkat padi.

 

Aturan adat mengatur kewajiban porari untuk memastikan agar tidak ada seorang pun yang lepas dari tanggung-jawab bersama ini, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan penting dalam berladang, karena dapat mengganggu pekerjaan. Akan tetapi, aturan adat juga memberi pengecualian untuk kasus-kasus tertentu. Berangkat dari prinsip dasarnya yaitu berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, maka kewajiban porari juga tidak dikenakan sama-rata kepada seluruh anggota komunitas. Ada orang-orang tertentu yang mendapatkan haknya tanpa harus membayar kewajiban porari, misalnya: janda, orang yang tidak mampu dan orang sakit. Mereka ini disebut dengan istilah “kayu anak”, tanggung-jawab bersama. Sebaliknya, warga kampung justru berkewajiban untuk melakukan porari bagi mereka, baik untuk berladang maupun keperluan yang lain.

Orang yang melakukan porari untuk golongan “kayu anak” disebut “mengayu anak”. Istilah “kayu anak” juga dipakai apabila seseorang yang memiliki ladang mendadak jatuh sakit sehingga ia tidak dapat bekerja. Pekerjaannya kemudian “dikayu-anakkan”, dikerjakan oleh anggota banjar lainnya. Akan tetapi apabila ladang tidak dikerjakan padahal pemiliknya tidak sakit dan tidak ada halangan, ketua banjar akan mendatanginya untuk menanyakan apakah ladangnya akan dikerjakan. Sebagai gantinya, hasil ladang nantinya akan diberikan kepada yang mengerjakan sebanyak sunukuh, atau berdasar kesepakatan, berdasarkan hari kerja dan pendapatan. Dalam satu banjar, kadang ada satu-dua orang yang mangkir dari kewajiban porari. Khusus untuk aktivitas berladang, mangkir dari kewajiban porari ini harus dibayar dengan hasil panen.

Pekerjaan porari dalam pekerjaan berladang hanya berlaku di dalam banjar ladang sendiri. Sedangkan untuk banjar ladang lain tidak digolongkan sebagai porari, melainkan “menolong” atau dalam istilah setempat disebut “sotulungan”. Orang yang dibantunya tidak memiliki kewajiban untuk membayar porari kepadanya. Ada 13 tahap pekerjaan peladangan yang menggunakan sistem porari yang berbeda-beda. Ke-13 tahap tersebut, yaitu: 1) Murientih (merintis), 2) Munobeh (menebas), 3) Murodah, 4) Munobang (menebang), 5) Mumaka (membakar), 6) Mumorun, 7) Muatak galang batang, 8) Munuga (menugal), 9) Murumpuik/ mulateh, 10) Munuai (menuai), 11) Muiriek, 12) Muangin, 13) Muangkuik padi.

 

Sumber:

Narasumber: Taslim F. Datuk Mogek Intan
Penulis: Sita Rohana

Lihat Juga

Marsden dan Pantun Melayu (tahun 1812)

Bagikan Pengantar William Marsden (1754-1836), seorang linguis dan sejarawan Inggris, adalah ilmuwan pioneer untuk kajian ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!