/1/
AKHIRNYA, kawan saya Abdul Wahab, mengawali kisah ini dengan menunjukkan kenyataan bahwa pulau Bintan menjadi tempat timang- timangan Melayu klasik sampai modern. Tak puas dia hanya mengatakan bahwa dari sinilah sosok militer tangguh dengan darah sastra melimpah- ruah, seperti tertuang dalam satu wadah. Tak lupa pula tentang tempat penulisan “Hikayat Hang Tuah” yang gemilang, tentu saja asal-usul Hang Tuah, yang serba dalam tarik-menarik dari satu kesan ke kesan lain. Singkat cerita, Bintan umpama sampiran dalam pantun yang brilian.
Cobalah, tulis Wahab melalui pesan pendek jasa komunikasi kepada saya, sedikit berkilas balik melalui pertanyaan pasal apa Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun, memilih Bintan sebagai perhentian suatu ekspedisi setelah Sriwijaya yang didirikan dari Muara Takus, memudar di Palembang pada abad ke-14. Beberapa kawasan telah mereka lewati untuk memenuhi keinginan Sang Sapurba bergelar Tribuana untuk melihat laut. Cuma waktu itu, Bintan sudah menjadi pusat suatu pemerintahan, dipimpin seorang janda Sukandar Syah, setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan ini memiliki seorang anak gadis cantik jelita, hasil perkawinannya dengan sang raja, bernama Wan Seri Bini yang kemudian dinikahkan dengan anak Sang Sapurba, Nila Utama. (Ahmat Adam, “Sulalatu’s-Salatin”, 2016).