Sejak belasan tahun yang lalu, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) cukup gencar mengiklankan kepedulian mereka pada lingkungan. Mulai dari perubahan logo, semboyan go green, kampanye nirplastik (setidaknya di kompleks mereka), dan banyak lagi.
Proyek-proyek bio remediasi juga gencar dilakukan. Oleh karena melibatkan dana besar, maka banyak pula desas-desus tentang itu. Ada yang masuk ke ranah hukum, masuk ke pengadilan, dengan segala kontroversinya.
Dua-tiga tahun terakhir, proyek bio remediasi itu makin gencar dilakukan. Fokusnya, memang pada tanah-tanah yang rusak dan tercemar akibat operasi mereka. Atau, dalam istilah mereka: tanah terkontaminasi minyak (TTM). Jumlahnya, jutaan metrik ton. Lokasinya, katanya, terpencar-pencar; tapi kita, orang awam, tak tahu titiknya di mana saja. Adakah titik-titik lokasi TTM itu di peta digital yang bisa diakses publik? Wallahua’lam. Yang jelas, untuk ‘mencuci’ jutaan metrik ton tanah tercemar itu, pasti memerlukan dana yang sangat besar.
Seperti tak jelasnya di mana titik-titik lokasinya, begitu pula informasi tentang proyek-proyek pencucian TTM itu. Bagaimana pencucian itu dilakukan? Perusahaan/ lembaga apa saja yang melakukannya? Bagaimana dia/ mereka mendapatkan bisnis besar itu? Sudah berapa persen kemajuannya? Dan, banyak lagi pertanyaan lain. Sebagai perusahaan global yang ternama, CPI tentu tak perlu diajar lagi tentang keterbukaan yang mencirikan globalisme masa kini.
Suatu hari seorang kawan memberi tahu, bahwa petinggi-petinggi perusahaan di Amerika sana menginginkan, jelang kontrak kerja sama mereka dengan Indonesia berakhir tahun 2021, keadaan kawasan konsesi mereka harus ‘kembali seperti semula’; seperti apa mereka datang 94 tahun yang lalu, seperti itu pula keadaan bumi Riau ini ketika mereka pergi. Tekad yang harus dihargai.
Tahun 2021 PT CPI akan pergi, setelah pemerintah Indonesia memutuskan memenangkan Pertamina untuk mengelola Blok Rokan. Tahun 2021. Sekitar 3 tahun lagi. Akan terwujudkah tekad itu? Wallahua’lam.
Yang pasti, hari ini kita dikabarkan bahwa salah satu sebab kelambatan kemajuan pembangunan jalan tol Dumai-Pekanbaru adalah masalah ganti rugi pembebasan lahan di konsesi PT CPI. Sebagian kawasan di konsesi itu sudah dihuni masyarakat dan mereka punya sertifikat pula. Mata kita pun melihat, kebun sawit masyarakat di tepi-tepi pipa mereka. Siapa memberi izin? Atau, kenapa dibiarkan? Bagaimana secara hukum? Saya tak tahu. Namun, memberi izin atau membiarkan lahan konsesi diduduki orang, secara moral sama saja: tidak amanah. Padahal, mereka custodian, pemegang amanah untuk menjaga harta-benda negara.
Terus, ketika menyusun entri ‘Mineh Sungai Mineh (Minas; Sungai Minas)’ untuk kanal kampung halaman di laman sesawang lamriau.id, tim kami sepakat bertanya: Apakah sungai di wilayah adat salah satu Pebatinan Sakai itu akan kembali jernih, merinah, muineh, pada saat PT CPI pergi meninggalkan Riau? Atau, tekad petinggi perusahaan global terkemuka itu hanya gimmick saja? Wallahua’lam bi s-sawab. (Al azhar)
Satu komentar
Pingback: Catatan Kaki Tentang Mineh | Majalah Agraria Today