Setiap kata dan istilah mewakili kenyataan dirujuknya. Tulisan ini memaparkan keragaman kata dan istilah bahasa Melayu (Rokan) yang mencerminkan keragaman kenyataan yang dirujuknya: air dan alirannya yang memiliki keragaman ciri, bentuk, dan sifat.
Batang
Istilah batang sering dipakai untuk menyebut sungai besar. Istilah ini diambil dari morfologi (fisik dan struktur) tumbuhan. Batang adalah bagian utama pohon tempat tumbuhnya cabang, ranting, daun, pucuk, bunga, kelopak, buah, putik dan seterusnya. Batang dipakai untuk menggambarkan yang “pokok, penting, dan utama” seperti dalam ungkapan: ‘non batang-batangnyo samiang’ (yang penting-penting/ yang utama/ yang perlu saja); dan istilah ‘titi-batang’ yang bermakna ‘menyampaikan bagian yang utama saja.’ Dalam konteks ini, batang dipakai untuk merujuk pada sungai utama.
Sungai-sungai yang di masa lalu mendapat sebutang batan antara lain Batang Rokan, Batang Lubuh, Batang Sosah, dan Batang Kumu; keempatnya sesungguhnya merupakan satu aliran Batang Rokan. Keempatnya memiliki peran politis di wilayah ini. Batang Lubuh berperan penting dalam sejarah kerajaan Rambah dan Kepenuhan; Batang Sosah, untuk kerajaan Tambusai; Batang Rokan untuk kerajaan Kuntodarussalam dan Rokan IV Koto; Batang Kumu menjadi jalur penting pelayaran dalam sejarah kerajaan-kerajaan Kotapinang, Kepenuhan, Tambusai, Siak, dan negeri-negeri di bagian hilir seperti Tanah Putih dan Sintong. Oleh karena itu, keempatnya tidak pernah disebut sebagai sungai, baru disebut sebagai sungai setelah mengalami pengindonesiaan istilah yang menyebabkan munculkan penamaan baru keempatnya sebagai ‘Sungai Batang Rokan’, ‘Sungai Batanglubuh’, ‘Sungai Batangsosah’, dan ‘Sungai Batangkumu’.
Istilah batang untuk sungai utama ini secara kultural tidak dapat digantikan dengan istilah sungai karena di dalamnya mencakup pengertian sungai sonik (sungai kecil) dan sungai godang (sungai besar), demikian pula sebaliknya. Batang Lubuh tidak disebut sebagai ‘sungai Lubuh’, atau ‘Batang Sosah’ tidak disebut ‘sungai Sosah’. Namun, bisa digantikan dengan istilah sungai godang (sungai besar).
Kabong ayie
Kabong mermakna potong untuk benda yang berbentuk panjang. Dalam konteks aliran air istilah kabong dipakai untuk menyebutkan sungai besar. Ayie bermakna benda cair yang tidak lengket, tidak kental, dan tidak jenuh. Ayie dapat merujuk pada pengertian sungai; misalnya, “Nak ko ayie” (Mau ke sungai) atau “Bao ko ayie naun” (Bawa saja ke sungai). Orang Melayu Rokan menggunakan kata ayie untuk menggantikan kata sungai atau batang, erat kaitannya dengan kepercayaan pada hal yang gaib, karena kata sungai dianggap lebih kasar dan kata ayie dianggap lebih halus. Dengan menyebutkan kata ayie, orang beranggapan tidak akan menyinggung penunggu-penunggu sungai.
Dalam adat Lima Luhak terdapat istilah tigo kabong ayie (tiga batang sungai), yang merujuk pada tiga aliran sungai besar, yaitu: Rokan Kiri, Rokan Kanan atau Batang Lubuh, dan Batang Sosah. Masing-masing disebut dengan sokabong ayie. Oleh karena itu, orang Melayu di Lima Luhak hulu Rokan dikenal dengan dengan sebutan urang non tigo kabong ayie (orang tiga sungai besar). Istilah sokabong ayie atau tigo kabong ayie digunakan sebagai ikatan soadat-solomago (seadat-selembaga).
Beberapa sungai yang memakai kata ayie misalnya, Ayie Botuah untuk Sungai Botuah yang ada di Tangun dan Ayie Suaman nama untuk nama Sungai Suaman di Pawan. Orang Mandailing, khususnya di Rambah menyebut ayie dengan aek (bahasa Mandailing), seperti Aek Pawan (Sungai Pawan), Aek Haiti (Sungai Kaiti), Aek Martuah (Sungai Botuah), dll. Sementara istilah ayie ilang (air hilang) dipakai untuk menyebutkan sungai yang alirannya masuk ke dalam lubang tanah atau lubang batu sehingga tidak terlihat lagi alirannya.
Parik (Parit)
Istilah lain yang juga dipakai untuk menyebut sungai adalah parik (Rokan Hulu, ‘paik’ atau ‘pait’ (Rokan hilir) yaitu (1) galian memanjang untuk memperlancar aliran air agar tidak tergenang atau saluran air, untuk suatu kegunaan misalnya tempat menahan pongila, lukah, dan alat penangkap ikan lainnya, (2) galian memanjang mengikuti batas tanah sebagai muntolak (sempadan), (3) galian memanjang dan sangat dalam dan tanahnya ditimbunkan ke atas untuk dijadikan benteng, misalnya benteng parit.
Sungai-sungai kecil yang ada di daerah Labuhantanggo sampai ke Bagansiapiapi lebih dikenal dengan istilah parit (pait atau paik), tidak dibedakan lagi apakah sungai itu sengaja dibuat atau terjadi secara alamiah. Dalam pemahaman Rokan, sungai memang tidak selalu berasal dari proses alami, namun dapat terbentuk dari terusan.
Torusan (Terusan)
Torusan merujuk pada aliran air buatan (seperti parit) yang memotong sebuah tanjung. Di Rokan bagian hulu, terusan yang sudah lama dan sudah menjadi aliran sungai tidak lagi disebut sebagai terusan atau torusan, namun disebut sungai. Sedangkan di daerah hilir, terusan yang telah berubah menjadi sungai tetap disebut terusan. Bagian sungai Rokan yang terpotong oleh terusan itu tetap disebut sebagai Batang Rokan.
Terusan dimiliki oleh orang yang membuatnya, bila sengaja digali untuk keperluan menangkap ikan. Terusan yang sengaja dibuat seseorang biasanya diberi nama yang sama dengan pembuatnya. Ada juga terusan yang terjadi secara alamiah karena luapan air akibat banjir besar yang membentuk jalur aliran air. Sebagian besar terusan di daerah hilir sungai Rokan diberi nama seperti kebiasaan orang Melayu memberi nama sebuah sungai. Di sungai Rokan bagian hilir, muara pertemuan aliran terusan disebut dengan istilah kualo terusan (kuala terusan) bukan muao terusan (muara terusan)
Tali ayie
Tali ayie yaitu garis arus yang selalu terjaga posisinya pada bagian sungai yang dalam. Tali ayie dijadikan sebagai salah satu petunjuk bagi nelayan atau nakhoda kapal untuk menentukan kedalaman dasar sungai yang bisa ditempuh oleh kapal. Sampah hanyut, kiambang atau buih selalu berada di atas tali ayie, sehingga membentuk garis tak terputus. Namun, dapat berubah juga tertiup angin, sehingga tanda-tanda tersebut keluar dari posisi tali ayie. Tali ayie juga bisa kacau karena pengaruh pasang surut dan bono. Sedangkan tali ayie yang tidak nampak disebut tali aruih (tali arus), yang hadir bersamaan dengan tali ayie. Dalam perkembangannya istilah tali ayie dipakai oleh orang Melayu untuk menyebut jaringan irigasi bendungan untuk keperluan pertanian.
Simolanca
Simolanca berasal dari kata lanca (lancar), yaitu sifat gerakan cepat, sulit untuk ditahan atau dihambat. Simolanca merujuk pada pengertian aliran air yang meluncur sangat cepat di permukaan miring. Simolanca banyak ditemukan di sungai-sungai kecil di hutan-hutan pedalaman Bukit Barisan. Di daerah Pawan Pasirpengarayan terdapat sebuah kampung bernama Simolanca karena di dekat kampung tersebut terdapat Sungai Simolanca.
Langkuik
Langkuik adalah sebutan untuk alur sungai yang tercipta pada batu gunung atau napal, dan air sungai mengalir di tempat tersebut. Langkuik banyak ditemukan di Sungai Rokan bagian hulu, tepatnya di kaki Bukit Barisan hingga ke pedalamannya. Bagian tengah dan hilir sungai Rokan tidak ada alur sungai berbentuk langkuik, karena dasar dan tebingnya berupa tanah.
Suaman
Suaman berasal dari kata suam yang mermakna hangat, tidak terlalu panas, dan bila disentuh atau disiramkan ke tubuh tidak menimbulkan rasa sakit. Suaman merujuk pada sumber mata air hangat atau ayie angek (air hangat). Sungai yang di dasarnya mengalir mata air panas juga disebut dengan istilah suaman yang banyak ditemui di kaki Bukit Barisan. Salah satu yang suaman yang terkenal berada di Pawan Pasirpengarayan dan di Rokan IV Koto.
Danau, rao, rawang, odang, calong, lupak
Istilah danau merujuk pada tempat dengan genangan air yang luas atau panjang, berarus tenang, dengan kedalaman tertentu. Danau terjadi secara alamiah. Dalam pengertian danau ini pun terdapat beberapa kekhususan. Misalnya, yang berukuran kecil menjorok ke darat dan airnya mengalir ke sungai disebut lupak, yang berukuran kecil di tepi sungai disebut calong, yang ditumbuhi kiambang, semak, bonto, kumpai dan tumbuhan air lainnya sampai menutupi permukaannya disebut rao (rawa), yang permukaannya telah ditumbuhi pepohonan tetapi airnya masih tergenang sepanjang tahun disebut dengan rawang, namun rawang yang airnya kering di musim kemarau disebut odang.
Danau jarang ditemui di daerah hulu Sungai Rokan, karena topografi tanahnya yang miring. Sementara di hilir, banyak sekali danau-danau besar dan panjang, bahkan ada yang saling berhubungan satu dengan yang lain karena topografi pesisir timur Sumatera dataran rendah yang luas. Kadang muncul daratan baru yang disebut dengan istilah tanah timbuo (tanah timbul). Di atas tanah timbul itulah terbentuk danau-danau dan sungai-sungai yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan danau dan sungai di pedalaman.
Muaro dan kualo
Muaro (muara) merujuk pada ujung aliran air sungai, yang dapat berakhir di sungai lain, danau, atau lautan. Lawan kata muaro (muara) adalah ulu (hulu). Ulu adalah pangkal atau titik mula sumber aliran sungai. Muaro dapat diartikan sama dengan kualo (kuala). Namun, kata muaro lebih lazim dipakai untuk merujuk ‘akhir aliran’. Istilah kualo tidak selalu bisa digantikan dengan muaro. Kualo Sako tidak pernah disebut dengan Muaro Sako. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata kualo merujuk pada tempat bermuaranya sebuah sungai. Sedangkan kata muaro adalah berakhirnya aliran sungai.
Ukuran sungai dan peran politik menentukan penggunaan istilah kualo atau muaro. Kata muaro di sungai Rokan hanya digunakan untuk sungai-sungai kecil saja. Sedangkan kualo digunakan untuk menyebutkan tempat berakhirnya aliran sungai besar, seperti muara aliran Batang Sosah disebut Kualo Batang Sosah, muara aliran Batang Kumu disebut Kualo Batang Kumu. Kualo juga dipakai untuk muara aliran sungai yang terkenal atau ternama, meskipun sungai tersebut bukan sungai besar; misalnya: (1) Kualo Sungai Duo, aliran sungai yang dikuasai dua kerajaan: Rambah dan Kepenuhan; (2) Kualo Ayie Itam, tempat perang perebutan batas antara raja Kepenuhan Tengku Ismail dengan Sultan Siak dan bekas Kerajaan Rantaubinuang (pindahan kerajaan Tambusai); (3) Kualo Tuk Musolin, yaitu muara aliran Batang Kumu, cabang aliran Sungai Rokan Kiri; (4) Kualo Sako/ Kualo Rapek, yaitu pertemuan aliran Rokan Kanan dengan Rokan Kiri.
Cabang, cipang, potomuan
Istilah yang dipakai untuk pertemuan dua cabang utama sungai Rokan adalah cabang, cipang (simpang), atau potomuan (pertemuan). Potomuan (pertemuan) digunakan untuk menyebutkan bertemunya dua aliran air sungai, di danau atau di laut. Oleh karena itu, muaro dan kualo sering juga disebut dengan istilah potomuan. Istilah potomuan ini muncul berdasarkan perspektif dari hulu ke hilir, orang melihat kepada dua aliran air sungai yang kemudian bertemu pada satu tempat.
Istilah cabang merujuk pada adanya dua aliran sungai yang seolah-olah terbelah seperti batang pohon dan cabangnya. Cabang bermakna aliran sungai sekunder. Semakna dengan istilah cipang (simpang). Namun, istilah cipang berangkat dari perspektif ketika orang bergerak menghulu sungai; sewaktu muncul pertanyaan apakah ke kiri atau ke kanan, maka dipakailah istilah cipang kiri dan cipang kanan.
Anak sungai, cucuo
Istilah anak sungai agak unik, berhubungan erat dengan istilah induk. Sungai besar dianggap sebagai induk, meskipun penyebutan “induk sungai” dalam percakapan sehari-hari kurang lazim. Istilah anak sungai sering dikaitkan dengan istilah monyusu (menyusu); sungai kecil atau anak sungai disebut sebagai sungai yang menyusu pada induknya (sungai besar), misalnya Sungai Musu sebagai anak Batang Lubuh.
Sedangkan istilah cucuo (cucur) yang merujuk pada seluruh anak sungai yang banyak sekali, baik yang mengalir terus-menerus sepanjang tahun maupun ketika musim hujan saja yang mengalir ke satu sungai yang sama.
Narasumber: Taslim F. Datuk Mogek Intan, (Pasirpengarayan)
Pustaka Rujukan:
Sita Rohana, Junaidi Syam, Elmustian, Al azhar, Mengarungi Sungai Rokan, Mengarang Manik-manik Berserakan, Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau dan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau, 2009.
Satu komentar
Pingback: Rokan, Sungai Rokan - LAM Riau