1
Kita orang Melayu masa kini seperti ‘lupa’ pada keperluan kita menyebarkan kisah dan tindakan kepahlawanan (epik) orang/ bangsa kita, baik kepada bangsa kita sendiri, maupun kepada bangsa lain. Simaklah, setelah Hang Tuah, di jantung alam Melayu ini kini agak sukar menyebut nama besar milik bersama, yang kisah-kisah kewiraannya bergema di dalam jiwa kita, membuat kita merasa ‘ada’ dengan kewibawaan tertentu di dunia luas yang fana ini. Nama Hang Tuah itu pun kini hanya sayup-sayup sampai ke ingatan pemuda-pemudi kita, yang pada gilirannya tenggelam dalam kelupaan bangsa, untuk kemudian berhenti sebagai lambang keberjayaan dan kuman hasrat keberhasilan (virus N-Ach) bagi generasi yang akan datang. [Pembaca Hikayat Hang Tuah tentu tahu bahwa di bagian penghujung kisahannya, pengarang membiarkan Hang Tuah hidup, tapi dalam kegaiban; sebuah ikhtiar seorang modernis untuk memperpanjang keberadaan sang wira dalam ingatan pembaca. Namun di situlah masalahnya: berapa orang yang masih membacanya(?); padahal, yang tertulis akan mati bila ia tidak dibaca…]
2
Sekarang kita hidup di ruang sosial yang disesaki teks, lebih-lebih di media sosial. Alih-alih memetik faedah pengayaan intertekstual untuk memperdalam makna dan menghaluskan kehidupan, malah banyak di antara kita yang justeru terperangkap dalam kelimpah-ruahan teks itu dengan sikap sambilewa: berpuas-puas berada dalam ayunan manfaat (dan mudharat) taklimat belaka. Padahal, setiap teks mengandung metateks; setiap teks menyisakan ruang kosong – setidaknya ruang kosong antar-baris atau sekuennya– tempat makna-makna bersarang. Atau, seperti kata filsuf Walter Benjamin, orang berduyun-duyun membaca untuk maklumat (informasi); sebaliknya, semakin sedikit yang membaca untuk cerita… padahal, maklumat menjadi kerontang begitu orang sampai ke titik ‘tahu’; sedangkan cerita (dan membaca sesuatu sebagai cerita) menawarkan kesuburan makna, biak-berbiak…
3
Secara fisik kita selalu berada di ruang terbatas: tempat kita beraktivitas sehari-hari. Di luar sana, ada keluasan: baik berupa wilayah yang dipisah-pisahkan oleh garis urusan administrasi dan politik (mulai dari RT sampai Negara), maupun ruang yang ditakdirkan memiliki perbedaan-perbedaan budaya. Di mana kita di ruang luas itu? Bagaimana kita di taman budaya luas aneka bunga bernama dunia ini? Apakah bunga-bunga kita terlihat tumbuh juga di sana, di luar sempadan negara dan budaya kita? Pertanyaan-pertanyaan ini, bagi saya, adalah cabaran dan/ atau rangsangan intertekstual… dan intertekstual, kata Roland Barthes, adalah persoalan memberdayakan pengetahuan/ pengalaman yang kita kita peroleh dari teks-teks lain, dari pusat-pusat kewibawaan, yang tak terhitung banyaknya.
Di bawah ini ada lima teks yang mudah-mudahan memiliki kewibawaan tertentu untuk mengenali dan memetik makna dari pengembaraan: lahiriyah, bathiniyah, maupun lahir-bathin. Yang pertama, Hikayat Hang Tuah. Menambah yang sudah saya katakan di atas, melalui kisahan pengembaraan tokoh utamanya, Hang Tuah, pada bagian-bagian tertentu teks ini membawa kita ke panorama budaya dunia, di antaranya Cina. Misalnya: kita ingat, episode Hang Tuah melanggar pantang-larang melihat wajah raja Cina. Dengan kiat ‘memakan kangkung’, pantang-larang itu dilanggar Hang Tuah tanpa sebarang akibat buruk. Demikian dikisahkan. Untuk sebagian, orang boleh beranggapan, itu perkara remeh-temeh; namun di sisi lain, melalui bagian kisahan itu, saya belajar tentang kecerdasan mencari tahu yang bersumber dari keseharian: budaya.
Yang kedua, novel Panglima Awang karya Harun Aminurrashid, pujangga Tanah Semenanjung Malaya tahun 1930-an, yang kisahannya bersandar pada catatan harian Antonio Pigafetta tentang Awang atau Enrique yang mendampingi pelaut Portugis, Ferdinand Magellan (1480-1521), dalam pelayarannya mengelilingi dunia pada awal abad ke-16. Pigafetta menyebut Awang berasal dari ‘Zamatra’ (Sumatera). Ia seorang pendekar, karena itu digelar ‘Panglima’. Ia dapat dianggap sebagai navigator bagi Magellan, dalam arti yang sebenarnya, maupun dalam arti kiasan: jurubahasa. Membaca Panglima Awang Harun Aminurrashid adalah menapaki jalan hidup berliku seorang budak Melayu: mengenal seorang pengembara dan keperkasaannya. Di balik itu, keseluruhan teks yang berkaitan dengan Awang atau Enrique bagi saya adalah gambaran epik tentang kesebatian kita dengan tanah-air, yang sekaligus menggemakan watak encer budaya Melayu.
Yang ketiga, adalah kisah Panglimo Awang yang disampaikan kepada khalayak dalam bentuk tradisi lisan Koba. Kisah yang didendangkan di lingkungan budaya masyarakat Sungai Rokan itu (antara lain oleh Maestro Tradisi Lisan Koba, Taslim F. Mogek Intan dari Pasir Pengaraian), diawali dengan proses menemukan kayu besar bernama kayu elak kayu elai – merbau binuang sakti, menumbangkannya, membangunnya menjadi perahu besar, Lancang Kuning Selodang Laut. Dengan perahu itulah Panglimo Awang mengembara mencari calon isteri yang diperuntukkan oleh adat (budaya) baginya.
Sampai di titik ini, saya diingatkan pada teks keempat, dari lingkungan nan jauh, Saint Lucia Karibia di Samudera Hindia Barat sana. Adalah seorang pengarang pemenang Hadiah Nobel 1992, Derek Walcott, menulis kisah dalam bentuk puisi liris berjudul Omeros. Judulnya menggemakan tukang cerita agung Yunani Kuno bernama Homer (Homerus). Kisahnya, dimulai dari pembuatan lancang, sama dengan Koba Panglimo Awang. Pada bagian awal, mengisahkan cinta segitiga Hector – Achilles – Helena, diikuti dengan pertarungan; juga mirip dengan cinta segitiga antara Awang – Bang Sulong – Anggun Cik Suri dalam Koba Panglimo Awang masyarakat lisan di lingkungan budaya Melayu Sungai Rokan. Tak kesahlah bagaimana kemiripan-kemiripan itu berlaku, biarlah itu menjadi bahan kajian ilmuan difusionis.
Saya sampai ke teks kelima, Mengejar Pelangi di Balik Gelombang (Unri Press, 2004) – kisah pelayaran seorang diri budak Melayu, Fadzham Fadil, dari New York ke Pulau Buluh Kepulauan Riau. Bila empat teks sebelumnya digolongkan sebagai fiksi, maka yang terakhir ini adalah catatan perjalanan pelakunya sendiri – sebuah travelogue. Bermula dari perahu kecil di perairan pulau Buluh, impian itu hinggap ke batin seorang budak, menjadi azam… maka setelah belia, ia menjadi awak kapal pesiar yang membawanya sampai ke New York. Ia menetap di sana, ‘membuat perahunya’ dengan bekerja menjadi pengantar pizza, kemudian kaligrafer untuk piagam-piagam penghargaan. Setelah 25 tahun mengumpul uang, ia memperoleh perahunya… melintasi Lautan Teduh yang lebih sering bergelora… menunaikan azamnya berlayar sendiri ke pulau Buluh…
Menutup teks ini, mari kita membaca Syair Perahu Hamzah Fansuri: betapa pengembaraan adalah sebuah jalan utama mengenal diri dengan segenap kedhaifannya; meruntuhkan ancaman keangkuhan, artinya; betapa mengenal diri berarti mengenal Tuhan yang bahari, sebagaimana dikatakan Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya. Memadailah dikatakan bahwa penelusuran jejak-jejak epik budaya kita di dunia ini barangkali lebih banyak bergantung pada seberapa setia kita mengembara: secara fisik, pergi mengarungi air yang menyatukan bumi ini; secara non-fisik, mengarungi samudera teks dengan sikap seorang yang lasak menemukan makna.
Maka, untuk memulai gerak pengembaraan itu, membina teks-teks dan tindakan kepahlawanan kita di masa kini, tanyalah diri: Mana perahuku? Kulayarkan ke mana?
Catatan: Teks ini ditulis ulang dari handout untuk “Seminar Budaya Melayu Asia-Pasifik” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, 5-8 Desember 2017; disunting oleh Sita Rohana.
Sungguh mantap tulisan dan pesan Datuk Al-Azhar ini. Saya semakin termotivasi untuk membaca karya-kara Melayu.