Dari ritual-magis, pantun kemudian berkembang memasuki ruang komunal (seperti acara-acara adat). Bersama gurindam dan pepatah-petitih, pantun menjadikan acara-acara komunal itu sebagai panggung kepiawaian berbahasa kias orang-orang Melayu sampai ke masa kini. Selanjutnya, pantun menjalar ke wilayah popular, dalam berbagai ekspresi estetis (seperti dalam nyanyian/lirik lagu), dan pernyataan-pernyataan emosi lainnya dalam pergaulan orang per orang sehari-hari.
Berasal dari kelisanan primer (primary orality), pantun kemudian masuk ke dalam peradaban tertulis (naskah/manuskrip dan cetak) serta elektronik/digital. Dalam tradisi naskah Melayu, misalnya, pantun ‘menghiasi’ sejumlah kisahan historiografi Melayu. Dalam satu episode Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) yang diperkirakan ditulis pada abad ke-17, misalnya, kita menyaksikan sang narator mengungkapkan empatinya pada bentuk kematian seorang tokoh yang dikisahkannya, dengan pantun: