Pantun yang dianggap baik ialah yang korespondensi bunyi (dan segala aspek musikalitasnya), maupun sintaks antara sampiran dengan isinya seimbang dan setimbang. Atau, menurut Muhammad Haji Salleh (2006), dua baris sampiran dapat diibaratkan bagai bercermin di depan dua baris isi; seperti dua bagian kertas yang dilipat, kata-kata, irama, dan bentuknya akan bertemu secara rapi. Dengan demikian, secara filosofis, pantun menganjungkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian.
Sumbangan pantun kepada kebudayaan dunia
Sebagai warisan budaya, pantun memberi sumbangan yang amat berarti terhadap kesinambungan kebudayaan Nusantara di dalam arus deras kesejagatan masa kini. Pesan-pesan tersurat dalam keseluruhan kata, baris, dan bait-bait pantun bersumber dari nilai-nilai luhur yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan pengucapannya sekaligus mengingatkan khalayak terhadap nilai-nilai tersebut. Di tengah-tengah khalayaknya (masyarakat Nusantara), pantun menyegarkan kesadaran nilai, dan dengan itu pantun dapat dianggap sebagai cermin sekaligus pengawal keberadaan nilai dan penerapannya dalam budaya Nusantara.
2 Komentar
Pingback: Pantun Melayu Tahun 1848 - LAM Riau
Pingback: Marsden dan Pantun Melayu (tahun 1812) - LAM Riau