Beranda / Telaah / Pantun

Pantun

Dalam konteks simbol identitas itu, pantun tertulis dibawa ke dalam berbagai kegiatan seremonial pemerintah, dipelajari di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal, dilombakan (berbalas pantun, atau jual-beli pantun), dijadikan semboyan kota (misalnya, semboyan “Kota Gurindam Negeri Pantun” untuk Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau), dan dirayakan melalui kegiatan-kegiatan massal (seperti pemecahan rekor MURI untuk jumlah orang berpantun, yang dilakukan di Tanjungpinang).

Di dalam dunia digital dan media sosial, pantun dari gejala budaya kelisanan sekunder (secondary orality) pertama-tama berkembang melalui lagu-lagu popular Melayu, baik di Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun di Brunei Darussalam. Lirik (seni-kata) lagu-lagu diva Melayu popular masa kini, seperti Siti Nurhaliza (Malaysia) dan Iyeth Bustami (Indonesia), secara kualitatif memenuhi puitika, etika, dan estetika pantun. Lagu-lagu popular Melayu yang menggunakan pantun ini dapat dianggap sebagai kesinambungan tradisi pantun, dengan alur perkembangan: dari pantun-pantun spontan (lisan) untuk lirik lagu-lagu pertunjukan joget, dondang sayang, langgam, zapin, ghazal, dan lain-lain, masuk ke dunia tulis penciptaan lirik lagu-lagu popular yang dikekalkan melalui teknologi rekaman, dirayakan oleh media elektronik (radio dan televisi) dan dunia digital masa kini.

Bagikan

Lihat Juga

SASTRA LISAN DAN KESADARAN ‘RUANG’

SASTRA LISAN DAN KESADARAN ‘RUANG’ Oleh: Alvi Puspita Rindu Berbilang Rindu “Tapo-apo kojo Waang ma. ...