Dalam budaya tulis, pantun hadir sekurang-kurangnya dalam jenis: (a) hiasan dalam kisahan-kisahan Melayu masa lampau, manuskrip dan kemudian cetak; (b) buku-buku kumpulan pantun, baik yang dikarang sendiri oleh penulisnya, maupun yang bersifat dokumentasi atas pantun-pantun popular; (c) pantun-pantun yang menghiasi surat-surat pribadi (antar keluarga dan sahabat yang tinggal berjauhan, antara dua kekasih, dsb.); (d) pantun-pantun yang ditulis untuk hiasan pidato, dsb.
Di masa kini, pantun-pantun yang menghiasi kisahan, sudah hampir tidak pernah dibuat lagi; demikian pula pantun-pantun dalam surat-surat pribadi. Keduanya, dalam kepengarangan masa kini, cenderung dianggap sebagai ciri ‘masa lampau’, yang oleh karena itu terkesan seperti dijauhi. Sementara itu, meskipun tidak terlalu berkembang, buku-buku pantun masih diterbitkan. Namun, sebagian besar buku-buku itu bukanlah pantun-pantun karya individu (seperti kumpulan pantun Haji Ibrahim), melainkan hasil pengumpulan pantun-pantun yang terserak dalam berbagai tradisi lisan warisan. Dengan demikian, penciptaan pantun secara tertulis dari jenis (a), (b), dan (c) tidak dapat dikatakan berkembang.