- Sastra, bahasa, dan realitas
Di samping tempat yang tersurat (dalam takrif, wujud, dan unsur-unsur kebudayaan), sastra juga bermukim secara tersirat dalam konsep menyeluruh kebudayaan. Ini karena sastra menggunakan unsur bahasa dan kesenian sebagai syarat dan perangkat mutlak proses produksinya. Pada kedalaman pengertian fungsional bahasa sebagai ‘alat komunikasi’, bermukim inti pengertiannya sebagai sistem tanda keberadaan sesuatu di dunia ini. Sesuatu dapat dipikirkan ada bila ia ‘bertanda’, artinya: ada dalam bahasa.
Dengan demikian, lebih dari perannya sebagai alat komunikasi, bahasa secara filosofis adalah penanda kenyataan-kenyataan. Atau: kita tak dapat mengatakan ‘kenyataan’ dan menjelajahi pemahaman (praktis-fungsional, maupun konseptual-filosofis) mengenai suatu ‘kenyataan’, bila ia tak bertanda (nama, sebutan, dsb.); tak ada dalam bahasa, artinya. Itulah sebabnya, sejumlah pemikir seperti Jonathan Culler (1997) mengatakan bahwa dunia ini (kenyataan-kenyataan) berada ‘dalam penjara bahasa’: pengertian, pemahaman, penjelajahan, dan perburuan makna, serta anggapan-anggapan kita mengenai kenyataan dalam kehidupan ini niscaya akan terkurung jua dalam jeruji tanda-tanda (bahasa).