Batobo, atau disebut juga tobo [toboh berarti berkelompok, bersama atau berkawan-kawan] adalah semacam arisan tani dalam mengolah tanah pertanian yang dilakukan secara bersama-sama dan bergiliran di antara anak tobo (anggota batobo). Batobo menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan kekeluargaan. Namun, hanya sebatas pengelolaan dan tidak berlaku terhadap hasil dari pertanian itu sendiri. Batobo terutama terdapat di daerah Kampar dan Kuantan
Secama umum, batobo dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu batobo biasa dan batobo pasukuan. Batobo biasa merupakan tobo yang memiliki anak tobo berasal dari warga masyarakat tanpa memandang suku, sedangkan batobo pasukuan merupakan batobo yang memiliki anak tobo berasal dari satu suku yang sama. Batobo biasa dilaksanakan atas persetujuan pimpinan kampung, sedangkan batobo persukuan berdasarkan persetujuan ninik mamak dalam suku yang batobo.
Perlaksaan batobo juga diiringi dengan penyiapan penganan secara bersama dan pertunjukan berbagai kesenian. Penganan yang disediakan berupa panganan yang umum disediakan dalam aktivitas-aktivitas komunal, misalnya lemang, konji (bubur beras), pulut, galamai (dodol), kue talam, guajik (wajik). Sedangkan pertunjukan keseniannya antara lain gondang baraguong, bedondong dan pantun batobo.
Pelaksaan Batobo
Setiap kelompok tobo beranggotakan antara 20-40 orang, yang dipimpin oleh seorang tuo tobo. Pimpinan tobo bertanggung-jawab atas keberhasilan dan pelaksanaan tobo misalnya memberitahu waktu pelaksanaan tobo, tempat batobo, menunjuk pengganti anggota tobo yang tidak bisa melaksanakan tobo, dan memberi tahu pimpinan kampung atau ninik mamak persukuan.
Batobo dilakukan pada musim berladang (sawah) atau pada saat membuka kebun secara bersama. Waktu pelaksanaan ditentukan berdasarkan keadaan alam dan musim. Misalnya, jika musim hujan, maka tahapan yang dilakukan adalah menyediakan dan menanam benih. Sedangkan musim kemarau merrupakan masa untuk mencangkul dan memanen. Kegiatan batobo dilakukan sehari penuh.
Pelaksaan batobo terbagi dalam beberapa tahap. Pertama, tahap menyemulo, yaitu saat mencangkul lahan pertama kali. Kedua, tahap membalik tanah, mencangkul lahan untuk kedua kalinya. Ketiga, tahap melunyah, yaitu menginjak-injak lahan dengan kaki. Keempat, menanam benih. Kelima, memanen.
Dilihat dari pola dan cara pengerjaan lahan, batobo dapat dibagi menjadi dua. Pertama, batobo mbiak ari (batobo mengambil hari), yaitu cara mengerjakan lahan (sawah atau ladang) yang melibatkan pemilih lahan. Batobo jenis ini adalah batobo yang murni. Kedua, batobo jual pugari, yaitu cara pengerjaan lahan tetapi para pekerja mendapatkan upah dari pemilik tanah. Batobo ini dikenal ketika ekonomi uang mulai memasuki kehidupan masyarakat, sehingga batobo pun kemudian dijadikan sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah.
Sejarah dan Perkembangan
Batobo pada awalnya dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini disebabkan kaum laki-laki umumnya pergi merantau sehingga kegiatan pertanian menjadi tanggung jawab perempuan. Tobo yang beranggotakan perempuan disebut dengan tobo induak-induak. Umumnya beranggota perempuan yang telah menikah berusia antara 25-40 tahun.
Selanjutnya berkembang tobo yang beranggotakan laki-laki yang disebut dengan tobo bujang. Ada pula tobo bujang gadih (di Kampar disebut tobo basampuak) yang beranggotakan bujang dan gadis yang berusia 14-18 tahun. Perlaksaan batobo ini umumnya selalu terpisah, walaupun tidak ada larangan untuk dilakukan secara bersama-sama.
Saat ini batobo kian ditinggalkan seiring pola pertanian yang semakin individual. Para pemilik ladang lebih memilih untuk membayar upah atau menyewa tenaga orang lain. Lahan pertanian yang semakin menipis dan pola bertani yang berubah juga sebagai penyebab batobo semakin jarang ditemukan.
Romantisme dalam Batobo
Pelaksanaan batobo, khususnya tobo bujang gadih, merupakan media perkenalan antara bujang dan gadis karena pada hari-hari biasa tabu untuk saling mengenal. Di Kuantan khususnya di Kenegerian Lubukjambi, tobo menciptakan kelahiran tradisi manjompuiak limau (lihat perahu baganduang). Sedangkan di Kampar melahirkan pantun batobo, yaitu berbalas pantun antara bujang dan gadis untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Berdasarkan tinjauan semiotik, teks pantun batobo menggambarkan kisah berkasih-kasihan yang tercermin dari tema-tema yang digunakan, misalnya merayu, menyatakan cinta, merindu, kecewa, beriba hati, dan merenda diri. Berikut contoh teks pantun batobo.
Merayu
apo ta golek tabalintang [apa yang tergeletak melintang]
batang dilindi lindi kudo [batang dilindi lindi kuda]
bukannyo apo nan maghintang [bukannya apa yang merintang]
golaknyo mani sakawuong gulo [senyumnya manis sekarung gula]
duo tigo toko di Padang [dua tiga toko di Padang]
sabuah toko tukang bosi [sebuah toko tukang besi]
dua tigo bungo nan kombang [dua tiga bunga nan kembang]
ado satangkai kan tompek ati [ada setangkai kan tempat hari]
kobau godang susukan anak [kerbau besar susukan anak]
uwang kubalo di dulak tan [orang gembala di timur sana]
adiak di dalam uwang banyak [abang di dalam orang banyak]
suagho kok indak kan batukau [suaranya tak akan bertukar]
den tuai padi tujuo tangkai [kutuai padi tujuh tangkai]
batang jerami tatogak juo [batang jerami tetegak juga]
lemu apo yang adiak pakai [ilmu apa yang adik pakai]
potang pagi tarogak juo [petang pagi teringat juga]
Menyatakan cinta
kok tido mandi bak kini [jika tidak mandi sekarang]
ka barat isuak kan mandi juo [ke barat esok kan mandi jua]
kok indak jadi bak kini [jika tidak jadi sekarang]
di akhirat isukkan jadi juo [di akhirat esok kan jadi jua]
basiyang padi di lokuak [bersiang padi di ceruk]
basiyang balate bolun [bersiang dibabat belum]
kok basilang koghi di ghusuok [jika bersilang keris di rusuk]
sayang diabang ndakkan dilopen [sayang abang tidakkan lepas]
kuik angkuik tobang ka langit [anaik-anaik terbang ke langit]
tibo di langik patah tigo [tibo di langit patah tigo]
batawuik awuik bumi jo langik [bertaut-taut bumi dan langit]
sayang diabang den alio tido [sayang ke abang kukutar tidak]
Merendahkan diri
intan-intan Pulau Anggoda [intan-intak Pulau Anggoda]
Toluok Siantan Solo Aghu [Teluk Siantan Solok Aghu]
acu santan adiok simpola [abang santan adik ampasnya]
mano kan omuo bacampu bawu [manalah bisa bercampur baur]
garabak bunyinyo lari [gerabak bunyinya lari]
angkuikkan tanah timbun pilubang [angkutkan tanah timbunkan lubang]
togaklah sungguo samo tenggi [tegak sungguh sama tinggi]
sampai dibangso adiok yang kughang [sampai di bangsal adik yang kurang]
Merindu
tanamlah dodok di topi laman [tanamlah dodok di tepi laman]
panjunjuong lado nan tido ghampak [penjujung cabai yang tak rampak]
apo dikakok tidokan nyaman [apa dipegang tidakan nyaman]
panenan mato tido nampak [mainan mata tidaklah tampak]
marewa di pasau simpang [terbar pesona di Pasar Simpang]
badoghai dipupuik ribuik [berderai dipuput rebut]
buruong dara ambeklahh tobang [burung dara hambatlah terbang]
mughai manangi nak manuwuik [murai menangis hendak ikut]
Kecewa
pisang kolek kolek lilin [pisang kolek kolek lilin]
pisang saumpun mamakan padi [pisang serumpun memakan padi]
atilah lokek pandanglah ingin [hatilah lekat pandanglah ingin]
awak tido sanagohi [kita tidak senegeri]
ndak den aso bak rido-rido [tak kusangka bak rido-rido]
pipik sananduang mamakan padi [pipit senandung memakan padi]
indak den sangko kan cando iko [tak kusangka kan seperti ini]
koghi dikanduong mangamuok diri [keris di kandung mengamuk diri]
Rujukan:
Alvi Puspita. 2009. Analisis Struktur Semiotik Teks Pantun Batobo. Skripsi. Pekanbaru: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau.
Dwi Sobuwati dan Nismawati Tarigan. 2006. Upacara Tradisional pada Masyarakat Melayu Kampar, Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Tim Peneliti P2KK UR. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Lembaga Penelitian Universitas Riau.