PEKANBARU—Di luar jadwal yang sudah disusun, Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Riau H. Wan Tamrin Hasyim, meminta presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri (SCB), membacakan sajak-sajaknya usai ditabalkan gelar kehormatan adat Datuk Seri Pujangga Utama oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Rabu, 7 November 2018. “Saya tahu betul dengan Sutardji ni,” kata Wan Hasyim kemudian.
SCB kemudian meminta panitia mencari anaknya yang datang dalam kesempatan itu, Mila Seraiwangi. Dari anak si mata wayang itu, ia meminta telepon genggamnya yang ternyata menyimpan beberap sajaknya. Ia kemudian membaca sejumlah sajak terkenal ciptannya antara lain “Tapi”, “Tanah Air Mata”, dan “Telor”. Suara SCB terdengar mengawang saat membacakan sajak-sajak tersebut. Sajak “Tapi” misalnya membuat undangan yang memenuhi tempat acara tertegun saat ia mengucapkan, “Tanpa apa aku datang padamu, wow.” Begitu pun sajak “Tanah Air Mata”. “Kalian sudah terkepung/ menyerahlah pada kedalaman air mata kami.” Sajak “Telor” dibacakan SCB setelah memberi keterangan bagaimana peristiwa Sumpah Pemuda sebagai sebuah peristiwa puisi. Pemuda diminta senantiasa memperlihatkan bakti, dimetaforakan dengan kemampuan bertelor.
Di Atas Tradisi Sebelumnya
SCB diminta menyampaikan sambutan. Ia berbicara tentang hakikat menulis puisi sebagai hakikat menulis di atas tradisi. Seorang penyair tidak menulis di atas kertas kosong belaka, tetapi di atas sejarah dengan berbagai elemennya termasuk mitos dan dongeng. Disebutkannya, bagaimana puisi memiliki dirinya sendiri yang tidak bisa ditiru karena lahir dari suatu kepribadian yang berbancuh antara bakat dan kerja keras untuk mencari dan menemukan makna berdasarkan kemauan puisi itu sendiri. “Tiada puisi selain puisi,” kata SCB menyimpulkan.
Dalam pandangan kreatif yang sederhana, hal itu dapat juga bermakna sebagai kemampuan penyair memiliki daya ucapnya sendiri. Dalam konteks ini, ia harus memperoleh pencapaian-pencapaian dengan sidik jari sendiri sebagai penyair. Tak heran kalau dalam petuah amanahnya, Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (Ketum MKA) Datuk Seri H. Al azhar mengatakan, pencapaian esetik SCB melambung dengan cakrawala universal, tetapi tidak melupakan tradisi. Seorang SCB dapat dinilai, bagaimana ia terus terbang ke angkasa tapi tidak melepaskan kebudayaan yang mengakar pada diri. “Hal ini juga menjadi harapan kami terus menggesa kepada Plt. Gubenur Riau untuk berjuang agar muatan Melayu Riau (Muatan Lokal) menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah. Sehingga anak-anak kita bisa tahu dan budaya mengakar di diri mereka,” ucap Al azhar.
Dalam kesempatan tersebut, Plt. Guberbur Riau, Wan Thamrin, mengaku sangat mengenal saudara mara SCB. Mereka adalah keluarga tokoh terbaik Riau dan ternama, dan gelar Datuk Seri Pujangga Utama memang patut diberi kepada SCB karena beliau adalah tokoh sastra Indonesia yang ternama pula. “Sajak-sajak Sutardji mengundang reaksi kesustraan dan bahasa Indonesia. Kepenyairannya merupakan pancang dan tonggak kesustraan Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai budaya Melayu,” ungkap Wan Thamrin.
Dalam laporannya, Ketua Panitia Penabalan Taufik Ikram Jamil mengatakan, “Kreativitas yang diperlihatkan Tuan Sutardji memperkukuh posisi Riau sebagai pusat bahasa dan kebudayaan Melayu.” Ditambahnya, lahir di Rengat 77 tahun lalu, SCB yang telah malang melintang dalam kesusastraan dan merupakan sastrawan terkemuka sejak 40 tahun terakhir. Ia dinilai berhak memperoleh gelar kehormatan adat tertinggi dari LAMR, Datuk Seri Pujangga Utama. Gelar kehormatan tertinggi ini, dalam 40 tahun terakhir baru diberikan kepada delapan orang tokoh. Tiga di antaranya Susilo Bambang Yudhoyono, Rida K Liamsi, dan Ustadz Abdul Somad. “Diharapkan, dengan gelar ini dapat memotivasi semua pihak baik secara pribadi maupun kelompok untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara,” ucap Taufik Ikram Jamil. (TIJ/SR)