
Selasa tanggal 27 November 2018, berlangsung peristiwa budaya yang cukup penting di Perpustakaan Soeman Hs Pekanbaru, yaitu Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-17. Penyelenggaranya, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Riau, didukung oleh Perpustakaan Nasional, Pemerintah Provinsi Riau, dan DREAMSEA (lembaga antarabangsa untuk preservasi dan konservasi digital naskah-naskah di Asia Tenggara).
Ratusan pengkaji dan peminat naskah Nusantara dari berbagai negara berhimpun, membentangkan pemikiran dan hasil kajian masing-masing. Dari Eropa, hadir Datuk Dr. Annabel T. Gallop (British Library) yang antara lain pernah menerbitkan kumpulan surat-surat diplomatik raja-raja dan pembesar Melayu, dalam sebuah edisi yang indah. Ada pula Dr. Henri Chambert-Loir (Prancis) yang selama puluhan tahun mengabdikan hidupnya untuk mengkaji budaya tulis alam Melayu. Kemudian, Prof. Dr. Jan van der Putten (warganegara Belanda yang kini jadi Guru Besar di Universitas Hamburg, Jerman), yang sejak mengkaji dan mempersiapkan penerbitan surat-surat pribadi Raja Ali Haji kepada Von de Wall pada awal 1990an hingga sekarang terus tunak meneroka naskah-naskah Melayu dan memberi perhatian yang amat besar pada upaya-upaya mengekalkan keberadaannya di dunia yang terus berubah ini. Dari Jakarta, ada Prof. Dr. Titik Pudjiastuti (filolog, Guru Besar FIPB UI) dan Prof. Dr. Oman Faturochman (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah; mantan Ketua Umum MANASSA; staf ahli Menteri Agama RI). Dari Malaysia hadir Prof. Madya Dr. Abdul Razak Abdul Karim (Universiti Malaya). Dr. Dick van der Meij (Belanda) juga hadir, pun Dr. Munawar (UI; Ketua Umum MANASSA sekarang), bersama hampir semua Ketua Cabang MANASSA seluruh Indonesia.
Dr. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kemendikbud) yang semula dijadwalkan memberi ceramah kunci, batal hadir. Namun beliau mengirimkan rekaman video ceramahnya untuk acara ini. Dalam video itu, beliau antara lain menegaskan bahwa naskah-naskah Nusantara adalah “reservoir budaya bangsa yang amat berharga”. Oleh karena itu, naskah Nusantara mendapat tempat khusus (di samping tradisi lisan) dalam kebijakan perlindungan, pelestarian, pengembangan, dan pembinaan kebudayaan, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan.
Sememangnya, dalam keragaman bentuk dan kandungannya, naskah-naskah Nusantara merekamkan masa lampau kita beserta pengetahuan dan pesan-pesan kulturalnya yang melintasi waktu. Maka, keterancaman keadaannya yang diakibatkan oleh berbagai faktor selalu menjadi isu dalam setiap pertemuan ahli dan peminat naskah. Nasib baik, komunitas ini tidak hanya mengeluh dan mengecam sana-sini, tapi juga berupaya membangun jaringan penyelamatan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, terutama teknologi digital. Undang-undang tentang Pemajuan Kebudayaan niscaya menjadi energi baru untuk membawa naskah-naskah nusantara ke keadaan yang wajar.
Dalam pikiran saya, ‘keadaan yang wajar’ itu tidak melulu persoalan preservasi dan konservasi yang bermuara pada kelestarian wujud fisik sesuatu naskah. Pun bukan hanya perluasan jangkauan aksesibilitas pengkaji dan peminat melalui media daring (internet). Komunitas pengkaji juga perlu merumus-ulang tujuannya melakukan pengkajian. Menghasilkan dan memublikasikan suntingan-suntingan teks dari satu atau lebih naskah seperti sekarang, tetap penting. Namun, juga sangat penting pula mengembangkan rasa penasaran ilmiah kita dengan persoalan dan tujuan menjaring dan memproduksi makna(-makna) dengan semacam perburuan terhadap nilai-nilai inti (core values) teks-teks warisan itu untuk dikomunikasikan dengan generasi milenial, yang amat mungkin memiliki pertanyaan dan cara yang berbeda dalam memantapkan jatidirinya.