Bersama Sutardji
//1
Tak Dapat Akar
Rotan pun Jadi
ketika datok tardji ditabalkan
daun-daun gugur dari dahan
memilih tersepuk di tanah
memilih duduk lebih rendah
mengumpulkan bertih-bertih
menghafal petatah-petitih
menjampi-jampi detak-detik hari
mantra dihumban ke langit tinggi
“wahai Allah, celikkan ‘luka’
wahai Allah, celikkan ‘walau’
wahai Allah, celikkan lupa
wahai Allah, celikkan galau
wahai Allah, celikkan hati
celikkan kami, celikkan bumi
celikkan bulan dan matahari
wahai Allah…
wahai Allah…
celikkanlah mata yang mati”
setelah itu, semua bersila
adik-anak, abang-kakak
ayah-mak,
melihat jatung pisang meledak
kelopaknya pecah, merecup buah
berebut berebut, berebut jatah
bukan sekali,
pada satu diri: s.u.t.a.r.d.j.i
ia nak terus dipupuk, disiram
hingga tumbuh, dan berbuah lagi
memenuhi laman dengan puisi
aku salah satu
mengintip mengintip, menunggu
dan datok tardji tak tahu itu
meletak mata lurus ke tanjak
sebagai siasah, selubung kehendak
: mencuri keris selempang di pinggang
tujuh keluk, meliuk-liuk
nak ditikamkan ke semua ceruk
menjadi penakluk
eh, rupanya ramon tahu
dia pun bergerak lebih dahulu
menyentap, mengepit keris tardji
menyimpannya ke dalam hati
menjadi pena, menjadi kata
menujahkan tikam ke mana-mana
alahmak…
dia dah selangkah di depan
dada dada, dada dada
menyempitkan pilihan
“usah dikau raduh, masih banyak.
tapi minta saja, jangan mencuri.
boleh tanjak, boleh songket,
mantra dan kasut, boleh disebut.
baju celana, sekali-kali jangan
nanti datok kedinginan,” kata ikram
aku diam, sembunyikan kalam:
tanjak sudah ditagan rida
songket sudah diikrar nizar
mantra dipakai dheni kurnia
kasut pun sudah dipesan hasan
tak ada pilihan lagi,
aku pergi, menemui datok tardji,
sendiri
meminta mengerat sedikit hayat
: hati yang nur ilahi
dan setetes darah ‘luka’ ‘walau’
yang masih kemarau
“tak dapat akar, rotan pun jadi
nak menyebat dunia,” kataku
setelah dapat, aku beranjak
datok tardji ke kursi bertolak
menunggu tepuk tepung tawar
menunggu simbah-sembur alazhar
dari kejauhan, jelas kudengar
ramon mengomel, mengomel
terpekik-lolong, hingar-bingar
“pencelat pencelat, dia mencelat
norham adalah seorang pencelat
rotan idaman dibawanya pergi
rotan kerinduan dibawanya lari.”
aku mempercepat langkah
menunggu saat menyergah
MBoro, 2018
Norham Abdul Wahab