Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Randai Kuantan dikelola dan dimainkan hanya oleh laki-laki. Pengaruh Islam yang kuat di Kuantan memantangkan perempuan tampil sebagai Anak Randai. Oleh karena itu, peran perempuan dimainkan oleh laki-laki yang disebut Bujang Gadih (bujang gadis). Tokoh utama Bujang Gadih pada umumnya adalah pemain lama (senior) yang sudah biasa memegang peran ini. Sedangkan untuk Bujang Gadih yang memainkan peran perempuan lainnya diambil dari Anak Randai yang masih bujang.
Di masa lalu, setiap kelompok Randai Kuantan selalu didampingi tetua kampung yang memiliki kekuatan batin untuk menjaga Anak Randai dan pertunjukan mereka dari gangguan hal-hal yang gaib (UU Hamidy, 1980). Ia duduk bersama penonton, mengamati pertunjukan, dan hanya akan bertindak secara kebatinan apabila melihat sesuatu yang tidak biasa akan terjadi. Sekarang, dalam setiap kelompok memang selalu ada orang yang dituakan sebagai penasehat, namun hal-hal magis tidak lagi menjadi bahan perbincangan. Randai Kuantan tidak lagi dilihat sebagai sebuah gelanggang “pertarungan” batin, tetapi semata-mata permainan, sebagaimana diwujudkan dalam istilah “bermain randai”.