Pada titik ini kita telah menyentuh peran aktif sastra dalam kebudayaan; peran mengubah yang dijalankan dengan membancuh pemihakan dan penolakan, pembakuan dan perubahan, pemadatan dan pengenceran; seperti pedang yang mengawal kebenaran-kebenaran kebudayaan sembari menebas semak-semak kesalahan di satu pihak, dan di pihak lain merintis jalan dan kemungkinan-kemungkinan penemuan sesuatu yang tersembunyi di balik keterbatasan akalbudi kita. Peran ini secara transparan ditampilkan oleh sastra puisi. Puisi dari segi kebahasaan adalah suatu bentuk deformasi bahasa (tanda dan makna).
Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, seringkali hanya ‘sesuai’ dengan kenyataan (kebudayaan) pada tataran bentuk bebas kata dasarnya saja. Bila kata dasar itu dihubungkan dengan kata-kata selanjutnya dalam baris yang sama, maka kita dengan mudah menyaksikan benturan-benturan makna yang mungkin bermuara pada makna kelompok kata atau kalimat ataupun makna menyeluruh yang baru, mungkin pula tidak. Contoh sederhana, kita ambillah larik/baris pertama puisinya yang berjudul “Batu”: batu mawar. Pada larik itu, “batu” dan “mawar” adalah tanda-tanda yang memiliki lapangan makna tertentu dalam kebudayaan, atau disebut sebagai kenyataan kebudayaan. Tetapi makna (kenyataan kebudayaan) itu jadi mengapung, manakala keduanya dihubungkan sebagai frasa (kelompok kata) atau kalimat (sintaksis); oposisi “batu” dan “mawar” dalam konteks frasa dan sintaksis tidaklah lazim, sehingga makna yang ditimbulkannya pun tak mudah disandingkan dengan makna-makna yang telah ada dalam kebudayaan. Pada peringkat ini, larik puisi tersebut merintis jalan dan kemungkinan baru dalam kenyataan kebudayaan. Namun, yang mengalami deformasi dalam kebanyakan puisi-puisi periode O Amuk Kapak Sutardji Calzoum Bachri bukan hanya konvensi tanda-makna yang sudah ada, tapi juga oposisi-oposisi penanda-petanda (sintaksis) puisi dalam kebudayaan berbahasa Melayu. Dalam konteks ini, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri membuka kemungkinan baru sintaksis perpuisian.