Catatan ini disampaikan sebagai pengantar dalam pembukaan acara “Dialog Virtual Kedaulatan Adat Melayu di Riau” pada 10 Juni 2020, sempena Milad Emas Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR).
Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu UUD 1945, memberi ruang yang jelas bagi apa yang dalam dialog ini kita sebut sebagai ‘kedaulatan adat’. Ada dua ayat yang secara tersurat menyatakan itu. Pertama, pada Pasal 18B (2) Bab VI tentang “Pemerintahan Daerah”, yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, Pasal 28I (3) Bab XA tentang “Hak Asasi Manusia” yang menyatakan: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam lingkup antara bangsa, dalam sidangnya pada 13 September 2007, Majelis Umum PBB melahirkan deklarasi yang disebut “Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat” (Declaration on the Rights of Indigenous People). Sebagai salah satu anggota Majelis Umum PBB, Indonesia termasuk 144 negara yang mendukung deklarasi tersebut.
Meski kedudukan hukumnya sudah demikian kokoh, kenyataannya ‘nasib’ sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat di dunia pada umumnya, di Indonesia khususnya, tetap memprihatinkan. Di lingkup Provinsi Riau, ‘hak-hak tradisionalnya’ itu, kalaupun tidak dapat dikatakan diabaikan oleh penyelenggara negara yang berwenang, belumlah mendapat perhatian yang patut dan layak. Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang menjadi turunan dari amanat konstitusi, UUD 1945, memang sudah ada; namun – dalam konteks Riau – peraturan dan kebijakan tersebut, terutama yang berkaitan dengan ‘hak tradisional’ atas hutan-tanah, seperti tetap dibiarkan dalam ketidakpastian. Katakanlah misalnya, pada peringkat praktis, Permendagri Nomor 52/2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat” yang menentukan bagaimana cara pemerintah kabupaten/kota dan provinsi memproses pengakuan dan perlindungan tersebut.
Sampai hari ini, kewenangan Pemkab/Pemko/Pemprov itu belum pernah digunakan. Padahal, di depan mata kita, begitu banyak konflik agraria (hutan-tanah) yang menimbulkan korban kemanusiaan, korban lingkungan, korban budaya, korban keekonomian, dll. Provinsi Riau adalah salah satu provinsi penyumbang konflik agraria terbesar di Indonesia; sebagian besar dari konflik tersebut terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan (korporasi) yang menggarap sumber daya alam hutan-tanah di provinsi ini. Dan, dalam setiap konflik itu, bila memasuki ranah hukum formal, masyarakat adat selalu berada dalam posisi yang lemah, untuk kemudian: kalah! Terakhir, misalnya, apa yang berlaku terhadap Pak Bongku, anak-kemenakan Suku Sakai Pebatinan Beringin.
Parsialitas, keberpihakan yang diskriminatif – pilih-pilih bulu – dalam menjalankan amanat peraturan perundang-undangan memang bukan hal baru dalam penyelenggaraan negara kita ini. Begitu juga di Riau; dan mungkin, lebih-lebih di Riau. Sebab, dalam politik ekonomi Indonesia sejak Orde Baru, ‘Riau’ dikonstruksi sebagai kawasan strategis karena kekayaan sumber daya alam (SDA) dan letaknya yang mudah menjangkau pusat-pusat jaringan perekonomian dunia. Itu seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat adat dan rakyat negeri ini. Namun, faktanya terbalik: konstruksi keekonomian itu justru membuat Riau menjadi ‘padang perburuan,’ tempat pemodal mengeruk keuntungan berlimpah. Maka apa yang dibayangkan sebagai berkah dari ‘negeri kaya SDA’ itu dalam praktiknya justru dialami selama puluhan tahun sebagai sebuah kutukan (resource curse). Reformasi tahun 1998 menjanjikan berbagai perbaikan mendasar; namun dalam konteks ‘hak-hak tradisional’ masyarakat adat atas hutan-tanah, tetap saja belum ada yang berubah secara signifikan.
‘Hutan-tanah’ adalah istilah Melayu untuk ruang kehidupannya. Hutan-tanah dan segala isinya tak dapat disusutkan maknanya dengan SDA yang mengandung arti terdedah untuk eksploitasi, baik yang sahih menurut aturan hukum negara maupun penjarahan-penjarahan keekonomian. Sebagai ruang kehidupan, ‘hutan-tanah’ adalah sarang marwah masyarakat adatnya, subyek sejawat bagi manusia untuk dinamika kebudayaan dan peradabannya dalam pola dialogik yang halus turun-temurun, dan sumber nafkah dalam keseimbangan dan keselarasan dengan alam (makan tidak menghabiskan – minum tidak mengeringkan). Hubungan harmonis manusia dan alam tersebut dengan mudah dapat dicermati melalui istilah ‘kampung’. Kampung dalam ingatan bersama (memory collective) masyarakat adat adalah bentang-ruang (lanskap) yang sekurang-kurangnya terdiri dari pemukiman, dusun, kawasan cadangan, kawasan sumber nafkah, kepungan sialang, dan rimba larangan. Maka penyusutan maknanya menjadi SDA semata, diikuti dengan eksploitasi yang dipraktikkan selama ini, sudah dan tetap akan mengantarkan anak watan ke ancaman bencana berkepanjangan yang silih berganti.
Oleh karena itu, ketika Gubernur Riau, Datuk Seri Setia Amanah Masyarakat Adat Melayu Riau, menggagas dan mencanangkan ‘Riau Hijau’, maka kita masyarakat adat memperbaharui harapan kita: memperbaiki ruang kehidupan kita yang porak-poranda, sebagai dermaga memulihkan hubungan harmonis tiga hala yang menjadi teras kesejatian hidup kita: hubungan dengan Maha Pencipta, dengan sesama manusia, dan dengan alam serta sekalian flora dan fauna yang berada di dalamnya.
Pertanyaan retoriknya adalah apakah penyelenggara negara kita di Riau sudi keluar dari zona nyamannya: hijrah dari sikap-sikap parsial ke imparsial dalam mengurus negeri ini, memandang persoalan hak-hak tradisional masyarakat adat ini sama pentingnya dengan urusan pundi-pundi perbendaharaan negeri dan negara, dan seterusnya, yang keseluruhannya dapat disimpul-simpai ke dalam persoalan integritasnya sebagai pelayan dan pengabdi rakyat. Wallahu a’lam bi s-sawab.
*) ‘Padang perburuan’ adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh budayawan UU Hamidy dan menjadi judul sebuah esainya, “Riau, Kisahmu sebagai Padang Perburuan” dalam buku Membaca Kehidupan Orang Melayu (Bumi Pustaka Pekanbaru, 1986).