Tak berlebihan dikatakan bahwa kata “budi” menempati suatu wilayah yang istimewa dalam khazanah Melayu Riau. Kata budi itu sendiri memiliki makna mendalam sebagai sosok yang melewati jangkauan tempat dan waktu. Kata ini mengiringi sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari di mana saja, tetapi kekal mewujud sepanjang waktu. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Antar Venus, M.A., dalam bukunya bertajuk Filsafat Komunikasi Orang Melayu (2015), “budi” merupakan suatu sifat dan keadaan utama seorang manusia Melayu dalam konteks pemuliaan terhadap manusia melalui tindakan-tindakan nyata.
Konsep budi tampaknya bukan hanya menjadi patokan berperilaku orang Melayu, tetapi juga selama berabad-abad konsep ini telah menjadi semacam semangat dan enegi hidup orang Melayu. Bila ditelusuri lebih jauh, dapat dipastikan nilai-nilai kebudian merupakan mata rantai terpenting dalam mengeskplorasi dan menelusuri sistem gagasan dan warisan pemikiran orang Melayu sejak masa kejayaan Sriwijaya baik ketika berpusat di Palembang, Jambi, maupun Muara Takus, hingga berakhirnya kejayaan Melayu Islam di Nusantara. Berasal dari bahasa Sanskerta, kata budi meekat padu dalam aktivitas Melayu dalam lintasan masa dari waktu yang jauh sampai terkini (ibid).
Maka wajar kemudian apabila banyak ditemukan dalan ungkapan Melayu yang meletakkan budi pada posisi istimewa. Selain “Yang berdiri dalam budi”, ungkapan sejajar dapat juga dilihat melalui frase, “Melihat orang berbangsa , lihat kepada budi bahasa” atau “hutang emas boleh dibayar, hutang budi dibawa mati.” Kesemuanya itu menegaskan bahwa budi juga bukan perkara yang berkaitan dengan kehidupan, tetapi juga alam abadi setekahnya. Bukan saja berkaitan dengan sosok secara fisik, tetapi juga menjangkau wawasan psikhis atau kejiwaan. Budi konkrit sekaligus abstrak.
Dalam bukunya Tunjuk Ajar Melayu, Tenas Effendy, panjang lebar mengungkapkan perkara budi di bawah tajuk Bertanam Budi dan Membalas Budi (2015: 220-235). Menurutnya, bagi orang Melayu, budi amatlah diutamakan. Bertanam budi dan membalas budi merupakan perbuatan mulia dan terpuji. Orang tua-tua mengatakann,” bila sudah termakan budi, di sanalah tempat Melayu mati”. Dalam kehidupan Melayu, sebutan ”orang berbudi” melambangkan perilaku terpuji, mulia,dan dihormati oleh masyarakatnya. Sebaliknya, jika disebut”tak tahu budi”atau “tak membalas budi”, maka seseorang dianggap jahat, tak tahu adat, berprilaku buruk dan hina, dibenci dan dijauhi masyarakatnya.
Orang tua-tua juga menegaskan bahwa sebaik baik manusia adalah orang yang tahu berbudi dan tahu pula membalas budi. Dalam ungkapan dikatakan, ”hal hidup berbudi, sempurnalah ia mati”, yang maksudnya bila seorang selama hayatnya beramal saleh dengan menanam kebajikan, berbuat kebaikan, dan berbudi kepada makhluk Tuhan, maka pahalanya akan menyelamatkannya, baik ketika di dunia maupun ketika di akhirat. Karena budi tidak dapat dibalas seperti membayar hutang harta benda. maka seseorang yang sudah termakan budi selama hidupnya. Dalam ungkapan dikatakan ”hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati”. Namun demikian,adalah menjadi kewajiban bagi mereka yang termakan budi itu untuk membalasnya, bukan dengan ”rupiah,ringgit,atau sejenisnya”, tetapi dengan budi baik dan kebajikan pula (ibid). Perhatikan ungkapan tunjuk ajar Melayu seagai berikut:
mati semut karena manisan,
mati Melayu karena budi
apa tanda Melayu jati,
bertanam budi sebelum mati
termakan budi ianya mati
apa tanda Melayu jati,
hidup ikhlas menanam budi
apa tanda Melayu jati,
elok perangai mulia pekerti
sakit senang menanam budi
apa tanda Melayu jati,
hidupnya tahu membalas budi
apa tanda Melayu jati,
membalas budi sampailah mati
apa tanda Melayu jati,
karena budi berani mati
apa tanda Melayu terpilih,
bertanam budi tiada memilih
apa tanda Melayu pilihan,
membalas budi ia utamakan
apa tanda Melayu pilihan,
membalas budi ia didahulukan
apa tanda Melayu pilihan,
bertanam budi jadi amalan
apa tanda Melayu pilihan,
termakan budi ia elakkan
bertanam budi ia galakkan
apa tanda Melayu beradat,
berteman budi ia bertempat
apa tanda Melayu beradat,
budi orang ianya ingat
apa tanda Melayu beradat,
membalas budi bercepat-cepat
apa tanda Melayu beradat,
bertanam berbudi menjadi sifat
apa tanda Melayu beradat,
tahu membalas budi orang
apa tanda Melayu terbilang,
tahu kan budi menjadi hutang
apa tanda Melayu terbilang,
banyak berbudi kepada orang
apa tanda Melayu terbilang,
kepada berbudi hatinya lapang
Syahdan, sejak dua tahun terakhir, LAMR berusaha mengimplikasi perkara budi itu dalam bentuk apa yang disebut “Penghargaan Ingatan Budi”. Tentu maksudnya tidak membalas budi, tetapi mengingat budi, kiranya juga merupakan bagian dari bagaimana memuliakan jasa orang. Tidak pula dapat dilaksanakan sekaligus karena berbagai keterbatasan, tetapi usaha ini jelas melalui proses spritual. Berbagai pertimbangan mengemuka dalam berkali-kalirapat MKA LAMR yang dilaksanakan setiap hari Rabu, terbaru pada tanggal 19 Juni 2019. Dengan rendah hati, tahun ini LAMR memberi “Penghargaan Ingatan Budi” kepada delapan sosok dan satu lembaga. (TIJ/SR)