Beranda / Telaah / Tradisi Lisan Adalah Ingatan Kolektif Orang Melayu
Ilustrasi oleh Humas LAMR

Tradisi Lisan Adalah Ingatan Kolektif Orang Melayu

oleh Adriansyah

Tradisi lisan wujud sebagai pilar esensial dalam membangun manusia yang berkebudayaan. Hal itu tergambarkan dari skema pewarisannya yang dilakukan secara turun-temurun, menjadi media ajar, dan juga sebagai media perekaman kekal bagi alam lingkungan untuk dimanfaatkan sebagai labor pengetahuan dan juga menjadi penguat identitas suatu kaum. Dalam konteks ini, tradisi lisan menjadi vital sehingga dapat berfungsi sebagai alat komunikasi dan wadah penyimpanan sejarah serta nilai-nilai. Tradisi lisan sering kali menyuguhkan refleksi tentang bagaimana dinamika sosial, budaya, dan spiritual dalam suatu kelompok masyarakat.

Di Asia misalnya, tradisi lisan menjadi sarana merawat warisan budaya dari suku-suku bangsa (Goel, 2024). Tradisi lisan dalam berbagai komunitas menggambarkan bagaimana praktik kelisanan berkaitan erat dengan kearifan lokal sosial masyarakat melalui penguatan nilai-nilai sosial masyarakat (Sinaga & Damanik, 2023), sementara dalam kebudayaan Melayu khususnya di Rau, tradisi lisan menjadi ruang ekspresi yang berfungsi sebagai media penyampaian nilai-nilai, serta memungkinkan untuk beradaptasi dengan pengaruh modernisasi tanpa mengorbankan nilai inti dari kebudayaan (Wirawan, 2022). Meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan kemajuan teknologi hari ini, kehadiran tradisi lisan dari peristiwa masa lampau menekankan pentingnya peran kebudayaan dalam mempertahankan kontinuitas budaya dan pembentukan identitas manusia yang berkebudayaan di masa depan.

Van Peursen mengungkapkan bahwa manusia dalam bingkai sejarah telah mengembangkan pola pikirnya melalui produksi nilai-nilai budaya sebagai bentuk strategi pertahanan hidup. Pada dasarnya pola pikir merupakan aspek fundamental dalam menggerakkan pembentukan nilai, norma, dan strategi hidup. Bagi orang Melayu di Riau tradisi lisan tidak hanya sebatas orientasi budaya yang dirancang untuk menandakan identitas, melainkan sebagai upaya membentuk kualitas manusia di dalamnya, seperti pembentukan karakter dan jati diri masyarakat.

Salah satu manifestasi tradisi lisan Melayu yang sampai hari ini masih berlangsung di tengah-tengah masyasrakat Melayu adalah nyanyian pengantar tidur. Tradisi menidurkan anak dengan mendendangkan ungkaan-ungkapan yang berisi nasihat merupakan praktik budaya yang tersebar luas hampir di seluruh wilayah Riau. Aktivitas ini dikenal dengan berbagai istilah lokal, seperti nandong di wilayah Kuantan, dodoi atau dudui di Indragiri Hilir, baghandu di Kampar, badondong di Pelalawan, serta dundung atau badundung di komunitas Talang Mamak, dan onduo di wilayah sepanjang sungai Rokan. Meskipun memiliki sebutan yang berbeda-beda, esensi dari kebudayaan ini tetap sama, yaitu sebagai media penyampaian nilai melalui tradisi lisan saat menidurkan anak.

Ingatan Masa Lampau

Tradisi lisan telah berperan sebagai medium krusial dalam kehidupan orang Melayu dalam menyampaikan peristiwa masa lampau, terutama pada sebelum adanya sistem penulisan yang terstruktur. Sejarah panjang tradisi lisan turut dibentuk oleh berbagai peristiwa masa lampau yang berdampak pada keberlangsungan dan transformasi budaya sampai hari ini. Bila melihat dalam skala perkembangan kebudayaan hari ini, saat teknologi modern belum masuk ke kehidupan sehari-hari orang Melayu, nyanyian pengantar tidur berperan sebagai sarana mendidik anak dalam menanamkan pengetahuan, nilai-nilai, dan praktik budaya dari dalam keluarga. Pemikiran ini turut menjadikan tradisi lisan tidak hanya merekam data masa lampau, tetapi juga menempatkan peristiwa kebudayaan tersebut sebagai ruang pengetahuan yang lebih luas.

Tradisi lisan menempati posisi sentral sebagai keberlangsungan manusia dalam menjalani kehidupan yang berbudaya. Orang Melayu mewarisi tradisi lisan bak jembatan melintasi zaman, di mana pantun, hikayat, dan cerita rakyat merajut benang kuno yang mengikat masa lampau dan masa kini. Pantun, misalnya, adalah bentuk puisi Melayu yang sudah digunakan di Nusantara lebih dari 500 tahun (UNISCO) bait-baitnya memuat makna rumit sekaligus nilai moral yang memandu tingkah laku, seperti sopan santun, hormat, kebaikan, dan kerendahan hati.

UNESCO pun menetapkan pantun sebagai warisan budaya tak benda Indonesia–Malaysia (2020) yang  menegaskan posisinya sebagai penanda yang kuat terhadap posisi kebudayaan Melayu. Selain itu, wujud kelisanan yang turut hadir dalam khazanah kebudayaan Melayu yakni syair dan hikayat yang menampilkan kisah epik kepahlawanan dan cerita leluhur bangsa Melayu genre-genre lainnya yang meneguhkan ingatan kontinuitas kebudayaan bangsa Melayu.

Nilai-nilai yang terkandung dari masa lampau disampaikan lewat tutur bahasa yang mudah diingat. Pantun misalnya, sengaja disusun berirama dan berima senada agar mudah di dihafal struktur dan polanya. Demikian pula cerita turun-temurun yang kerap kali terjadi perubahan bentuk, namun tetap mempertahankan inti dari kebudayaannya​. Seakan-akan tradisi lisan menjadi identitas atau jati diri kemelayuan yang tidak hanya mengandung nuansa kisah belaka, tetapi juga aspek lokalitas kebudayaan yang dihasilkan melalui sistem nilai, pengetahuan tradisional, dan bahkan sejarah dari bangsa Melayu itu sendiri.

Dari berbagai peristiwa ini dapat kita lihat manifestasi tradisi kelisanan tidak hanya menyimpan data secara historis, namun juga membentuk perangkat epistemologis (cara mengetahui dan mengingat) bagi kelangsungan hidup manusia yang tinggal di dalamnya. Masa lampau dari suatu kebudayaan bukanlah sekadar akumulasi data faktual melainkan sebuah konstruksi kehidupan budaya yang dibangun atas dasar pengetahuan yang dipengaruhi oleh persepsi kolektif sosial masyarakat, penyesuaian nilai-nilai, dan dialektika antara masa lampau dan hari ini. Oleh karena itu, dalam upaya membaca masa lampau tentunya kita dapat melihat tradisi kelisanan sebagai sumber kemajuan pemikiran yang berkontribusi membangun manusia yang berkebudayaan untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Ingatan dan Pergerakan Kolektif

Dalam kerangka pemikiran Van Peursen, perkembangan pola pikir masyarakat di kelompokkan ke dalam tiga tahap utama, yakni mitis, ontologis, dan fungsional. Pola mitis dicirikan oleh ketergantungan manusia pada mitos dan kepercayaan kolektif sebagai pedoman dalam memahami realitas. Pola pikir mitis merupakan fase berpikir sederhana yang ditandai oleh dominasi kepercayaan terhadap kekuatan gaib, sebagaimana tercermin dalam teks-teks lisan yang mengatur norma sosial, termasuk perkawinan dan hukuman bagi pelanggar.

Dunia transenden dipandang sebagai domain utama yang menentukan jalannya kehidupan, sehingga ketakutan terhadap kekuatan demonis menjadi aspek sentral dalam fase ini. Penanda fisik dalam masyarakat mistis sering kali merepresentasikan hubungan antara alam langit dan alam bumi serta mencerminkan relasi transenden dan imanen. Sementara itu, pola ontologis menandai peralihan ke cara berpikir yang lebih rasional dengan penekanan pada pencarian hakikat kebenaran dan objektivitas. Fase ontologis menandai peralihan dari mitos ke logos, di mana pemikiran deduktif, induktif, dan aksiologis yang mulai berkembang —keyakinan agama dan emosi sosial masih mempengaruhi cara pikir dan pandang orang Melayu. Akhirnya manusia mulai mengambil jarak dari realitas yang mengitarinya, merenungkan hubungan antara alam fisik dan metafisik. Fase ini menjadi jembatan menuju perubahan sosial yang lebih radikal dalam budaya pada tahap berikutnya. Selanjutnya, pola fungsional menunjukkan tahap di mana manusia lebih pragmatis dan berorientasi pada efisiensi dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Buktinya, keberadaan tradisi lisan saat ini masih hidup dalam percakapan sehari-hari orang Melayu. Di tengah arus perkembangan modernisasi dan perubahan gaya hidup yang menyebabkan tradisi bersalin berganti ke arah budaya visual digital. Bentuk-bentuk ekspresi lisan menjadi fondasi intelektual dan spiritual dalam konstruksi budaya. Lebih jauh, UNESCO mengakui tradisi lisan (terutama pantun) sebagai salah satu warisan budaya yang merepresentasikan “jiwa yang menyatukan” komunitas-komunitas Melayu, sekaligus mengukuhkannya sebagai bagian integral dari identitas budaya kolektif masyarakat Riau.

Meskipun demikian, tradisi lisan di alam Melayu tidak kehilangan relevansinya; justru di tengah modernitas hari ini, tradisi lisan di Riau seakan hadir kembali sebagai sumber kearifan lokal yang dapat menjawab topik pendidikan karakter generasi Melayu saat ini. Dalam kerangka ini, tradisi lisan bukan hanya warisan masa lalu, tetapi fondasi masa depan. Oleh karena itu, pelestarian tradisi kelisanan dalam kebudayaan Melayu Riau bukan sekadar menjaga identitas kultural, melainkan juga membangun kembali ingatan kolektif yang menyebabkan terjadinya pergerakan ke arah yang lebih baik bagi manusia.

Catatan Perkembangan Masa Kini

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, tradisi lisan dihadapkan pada tantangan-tantangan yang kompleks di mana dominasi informasi digital dan homogenisasi budaya kerap menggeser nilai-nilai lokalitas yang telah teruji. Fenomena media digital dan dominasi konten tanpa batas semakin memperlebar jurang ini. Penelitian Rahim & Aziz (2022) menunjukkan media sosial telah menggeser perhatian generasi muda dari tradisi lokal yang mengakibatkan berkurangnya penuturan asli, bahkan tanpa upaya pelestarian terorganisir. Bahkan sebagian generasi hari ini menganggap karya dalam tradisi lisan Melayu Riau kuno dan terbelakang.

Pada wilayah ini, peran inovasi dan pelestarian sangat krusial agar keberlangsungan tradisi lisan tetap ada dan eksis di kehidupan sosial masyarakat Melayu. Hassan & Yusof (2023) misalnya menegaskan tradisi lisan tetap relevan bila diadaptasi lewat media sosial maupun podcast untuk menjangkau audien yang lebih luas. Selain itu, digitalisasi warisan ini, misalnya melalui pembuatan aplikasi seluler berisi genre-genre tradisi lisan untuk memungkinkan generasi muda mengenal kembali kearifan Melayu Riau

Kegiatan seperti festival budaya berbasis teknologi atau lomba kreasi tradisi lisan yang didukung teknologi digital mesti diusulkan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya tradisi lisan. Bentuk inovasi budaya berbasis teknologi lainnya juga dapat dipertimbangkan: misalnya menghadirkan aplikasi untuk mengeksplor cerita rakyat Riau atau lomba kreasi video pendek bertema tradisi lisan yang dapat menumbuhkan antusiasme generasi muda. Pendekatan kreatif semacam ini membuka kemungkinan melestarikan nilai-nilai tradisional dalam format digital yang atraktif dan interaktif.

Oleh Adriansyah, lahir di Sedinginan, Riau. Pada tanggal 21 Juni 1993. Menulis kajian budaya Melayu

Bagikan

Lihat Juga

SASTRA LISAN DAN KESADARAN ‘RUANG’

SASTRA LISAN DAN KESADARAN ‘RUANG’ Oleh: Alvi Puspita Rindu Berbilang Rindu “Tapo-apo kojo Waang ma. ...