Beranda / Kabar / Mendengar Senandung Syair, Kapolri Listyo Tertunduk Dalam Adab

Mendengar Senandung Syair, Kapolri Listyo Tertunduk Dalam Adab

lamriau.id-Pekanbaru, Seketika balairung Tenas Effendi di lantai II Balai Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Pekanbaru, diliputi keheningan. Bukan karena komando atau instruksi formal, melainkan karena syair. Suara Siska Armiza, juara baca syair antarabangsaan, mengalun lirih. Membacakan bait demi bait perjalanan hidup dan pengabdian seorang jenderal polisi dari Ambon.

Suasana terasa sakral, bukan hanya oleh dinginnya air conditioner atau tata panggung adat yang penuh simbol, tapi karena getaran kata-kata yang mengguncang hati. Di atas terap, di depan petarakna, duduk sosok yang menjadi tujuan dari semua penghormatan hari itu, Kapolri Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, diapit Gubernur Riau Datuk Seri Abdul Wahid (sebelah kanan), dan Ketua Umum DPH LAMR Datuk Seri Taufik Ikram Jamil (sebelah kiri). Sederet dengan mereka terlihat Ketua Umum MKA LAMR Datuk Seri Marjohan Yusuf, dan Kapolda Riau, Irjen Pol. Dr Herry Heryawan, M. Hum.

Kepala Polri itu tak banyak bergerak. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan mengepal di pangkuan, dan wajah tertunduk. Sejak syair pertama dialunkan, Malalak, Nandung, Surat Kapal, hingga Selendang Delima, ia tetap dalam posisi itu. Tak bersuara. Tak bergeming. Hanya sesekali jempol kanannya mengusap pelan punggung tangan kiri, seolah mencoba menenangkan sesuatu yang bergejolak di dada.

Ketika bait-bait terakhir syair karya Datuk Seri Taufik Ikram Jamil dilantunkan, perubahan kecil tampak. Kepalan tangan dilepas. Jemari kiri naik ke hidung, menarik napas pelan. Matanya memerah. Ada sembab yang tak bisa disembunyikan. Sejenak, jenderal itu tak sedang mendengar sebagai pejabat. Ia menjadi manusia biasa, anak bangsa yang disentuh oleh bahasa hati masyarakat yang dilayaninya.

“Inilah adab itu,” ujar Mardiansyah, salah satu pengurus LAMR yang memperhatikan tingkah Kapolri sejak awal acara. “Ketika dipuji, beliau justru menunduk.”

Memang bukan kali pertama Kapolri Listyo Sigit berinteraksi dengan adat Melayu Riau. Beberapa waktu sebelumnya, saat LAMR meminangnya untuk menerima Anugerah Adat Ingatan Budi, prosesi berbalas pantun menjadi jembatan awal. Saat itu, katanya, waktu yang disediakan hanya setengah jam. Tapi karena Kapolri begitu menikmati alur pantun yang bersahutan, durasi melar jadi satu setengah jam. Ia larut. Terbuai.

Namun pagi itu berbeda. Pantun berganti syair. Tawa ringan berganti keheningan dalam. Dan Kapolri yang terbiasa tegas memberi komando dalam pasukan justru tertunduk, dihujam oleh bahasa-bahasa lama yang menyentuh nurani. Seperti yang tertulis dalam syair.

“Maka bagi daerah beradat Melayu

Jasa Kapolri Tuan Listyo amat bermutu

Anugerah Adat Ingatan Budi diaju

Sebagai ungkapan mewakili laku”

Gubernur Riau Abdul Wahid, yang duduk di sisi kanannya, menyebut Kapolri telah memberi wajah baru bagi Polri. Wajah yang lebih teduh, terbuka, dan hadir di tengah rakyat. Bahkan moto melindungi, mengayomi, dan melayani tak lagi sekadar slogan, tapi menjadi “ruh kebijakan” yang dirasakan langsung di tanah Melayu Riau.

Tak hanya soal pelayanan. Di Riau, keberhasilan Polri dalam menjaga stabilitas dan menangani kebakaran hutan juga mendapat catatan tersendiri. “Riau tak lagi dikenal sebagai penyumbang asap,” kata Gubri. “Ini kerja konkret yang kami rasakan.”

Pagi itu, di jantung adat Melayu Riau, syair bukan sekadar rangkaian kata. Ia menjadi cermin rasa. Dan bagi Kapolri Listyo Sigit, yang telah terbiasa memimpin dengan ketegasan, mungkin di hari itu, ia memimpin dengan diam.

Bagikan

Lihat Juga

Puan Ida Rifda Serahkan Buku “Pantun Sapaan Hati Ibu Bhayangkari” Kepada Ibu Kapolri Juliati

lamriau.id-Pekanbaru, Dalam sebuah momen penuh kehangatan dan nuansa budaya, Puan Ida Rifda, Ketua Bidang Ekonomi dan ...