Namun teori Goudie tersebut dibantah oleh Koster (1995; 2011) yang berpendapat bahwa Syair Perang Siak mestinya ditulis semasa pemerintahan Sultan Yahya (1781-1791), yaitu putera dan pengganti Sultan Ismail. Penulisannya dilakukan atas perintah Yamtuan Mudanya, yaitu Muhammad Ali, yang pada masa itu sudah berida. Koster selanjutnya lebih cenderung beranggapan bahwa pengarang syair itu adalah salah seorang cicit Raja Kecik, yaitu Tengku Muhammad, putera dari adik Sultan Ismail yang bernama Tengku Abdullah.
Sesudah perang Siak, Ismail mengungsi ke Pelalawan, dengan pertolongan Muhammad Ali. Tahun 1765, Muhammad Ali naik tahta menggantikan Alam sebagai sultan Siak. Namun tahun 1779 Ismail menyerang dan merebut tahta Siak. Muhammad Ali mengungsi ke pedalaman, kemudian menerima tawaran pengampunan dari Sultan Ismail, bahkan diberi kedudukan sebagai Yamtuan Muda. Ketika wafat pada tahun 1781, Ismail digantikan oleh puteranya, Yahya. Saingannya dari garis keturunan Raja Alam berangsur-angsur makin kuat di bawah pimpinan Said Ali, cucu Raja Alam. Sebagai Yamtuan Muda Siak, Muhammad Ali mengerahkan segala daya untuk mengendalikan pihak saingan, dan coba mengekang ambisi Said Ali. Namun usahanya sia-sia. Bersamaan dengan wafatnya Muhammad Ali pada tahun 1791, Said Ali merebut kekuasaan dan menobatkan diri sebagai sultan Siak. Kebanyakan keturunan Ismail mengungsi dari Siak ke pengasingan (Sejarah Raja-raja Melayu 511-17; 523-72). Said Ali dan keturunannya itulah yang kelak berkuasa di kerajaan itu sampai revolusi Indonesia 1945.